MAKASSAR, BKM — Tim penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Sulsel menerapkan investigasi berbasis scientific investigation dengan analisis digital forensik terhadap barang bukti elektronik yang disita dari diamankannya 40 orang terdugas passobis asal Kabupaten Sidrap. Dari total 144 unit gawai yang disita personel gabungan Intelijen Kodam XIV/Hasanuddin dan telah diserahkan ke Polda, data dari 20 unit gawai telah berhasil diangkat.
Hasil sementara menemukan adanya 41 korban penipuan dengan tiga modus operandi, yakni jual beli handphone, investasi dalam negeri, dan investasi luar negeri.
Dari korban yang teridentifikasi itu, sebanyak tiga orang telah bersedia memberikan keterangan resmi. Mereka berasal dari Jawa Timur dengan kerugian sebesar Rp8 juta, Pontianak yang mengalami kerugian Rp3 juta, dan satu korban di Singapura dengan total kerugian Rp30 juta.
Hal ini terungkap dana konferensi pers yang dilaksanakan Ditreskrimsus Polda Sulsel di Aula Mappaoddang Mapolda Sulsel, Sabtu (26/4). Dipimpin langsung Direktur Ditreskrimsus Kombes Pol Dedi Supriyadi, didampingi Kabid Humas Kombes Pol Didik Supranoto, dan Kabid Propam Kombes Pol Zulham Effendi.
Kepada wartawan, disampaikan bahwa Polda Sulsel telah memulangkan 37 orang yang merupakan terduga pelaku penipuan daring (passobis). Mereka merupakan bagian dari yang sebelumnya ditangkap Tim Gbungan Intelijen Kodam XIV/Hasanuddin di Sidrap.
Sebelumnya, pada Jumat (25/4) sekitar pukul 17.00 Wita, Ditreskrimsus Polda Sulsel menerima pelimpahan 40 orang terduga pelaku penipuan online dari Kodam XIV Hasanuddin. Proses pelimpahan ini disertai dengan pemeriksaan kesehatan terhadap para terduga pelaku, serta pengecekan kelengkapan barang bukti yang berlangsung hingga pukul 23.30 Wita. Serah terima resmi dilakukan pada pukul 23.50 Wita, lengkap dengan administrasi berita acara dan tanda tangan saksi dari kedua pihak.
“Setelah menerima pelimpahan, kami melakukan tindakan kemanusiaan dengan memberikan makanan dan melakukan pemeriksaan kesehatan, serta pengecekan identitas para terduga pelaku,” ujar Kabid Humas Kombes Pol Didik Supranoto.
Disampaikan bahwa terhadap 37 terduga lainnya yang belum ditemukan keterlibatan langsungnya, akan dikembalikan kepada keluarganya sambil menunggu hasil penyelidikan lebih lanjut. Jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan, pihak kepolisian akan melakukan pemanggilan kembali terhadap mereka.
Direktur Dirkrimsus Polda Sulsel Kombes Pol Dedi Supriyadi, menyebut bahwa saat ini tiga terduga pelaku telah diidentifikasi perannya berdasarkan hasil forensik digital. “Pasal yang kami persangkakan adalah penipuan online dengan delik aduan, sehingga memerlukan laporan dari korban. Untuk tiga korban ini, proses penyidikan telah kami tingkatkan,” jelasnya.
Polda Sulsel menegaskan komitmennya dalam menangani kejahatan siber yang semakin kompleks ini dan mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati terhadap modus-modus penipuan online yang kian marak terjadi.
Harus Hormati Supremasi Hukum
Politisi Partai Golkar dalam kapasitasnya selaku anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja, menegaskan pentingnya penghormatan terhadap supremasi hukum dalam menanggapi penggerebekan komplotan penipu online (passobis) di Kabupaten Sidrap, Sulsel. Dalam penggerebekan yang dilakukan oleh Timsus Gabungan dari Sinteldam XIV/Hasanuddin, Deninteldam XIV/Hasanuddin, dan Intelrem 141/Toddopuli itu berhasil mengamankan 40 orang tersangka serta sejumlah barang bukti.
Abraham mengatakan, menjaga kehormatan dan nama baik institusi negara adalah kewajiban bersama. Namun, dalam negara hukum, ia menekankan bahwa pemberantasan kejahatan, khususnya yang melibatkan warga sipil harus tetap berjalan dalam koridor hukum yang berlaku.
“Dalam kasus ini, saya menghargai semangat dan kesigapan aparat dalam bertindak. Namun, kita juga harus mengingat bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI maupun RUU TNI yang kemarin kami sahkan di DPR, tugas TNI bukanlah melakukan penegakan hukum terhadap masyarakat sipil. Fungsi penegakan hukum berada di bawah kewenangan Polri,” kata Abraham Sridjaja dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (26/4).
Abraham menyatakan, setiap tindakan terhadap warga sipil, seperti penggerebekan dan penahanan, harus dilakukan melalui aparat yang secara sah memiliki kewenangan dalam sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian.
Dia mengingatkan, keterlibatan langsung TNI tanpa adanya koordinasi resmi dengan Polri berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip due process of law dan Hak Asasi Manusia (HAM). “TNI adalah kekuatan pertahanan negara yang profesional. Supremasi hukum harus tetap menjadi landasan dalam setiap tindakan, terlebih bila menyangkut warga sipil. Ini bukan semata soal teknis operasi, tetapi soal penghormatan terhadap konstitusi dan demokrasi,” tegas Abraham.
Lebih lanjut, Abraham meminta agar seluruh proses hukum terhadap 40 orang yang diamankan segera dilimpahkan ke Polda Sulsel untuk diproses sesuai hukum acara pidana. Ia juga mendorong Panglima TNI untuk melakukan evaluasi internal terkait prosedur operasi intelijen di ranah sipil, agar ke depan keterlibatan TNI tetap dalam kerangka yang sah dan terkoordinasi.
Menurut Abraham, langkah ini penting untuk mencegah tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Polri serta menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara. Dia menilai, kolaborasi yang tepat antara TNI dan Polri dalam menghadapi kejahatan berbasis siber akan memperkuat keamanan nasional tanpa mengorbankan prinsip-prinsip negara hukum.
“Komisi I DPR RI akan mendalami kejadian ini melalui fungsi pengawasan yang melekat. Kami akan meminta klarifikasi resmi dari pihak TNI dalam forum rapat kerja, untuk memastikan seluruh tindakan tetap berjalan dalam koridor hukum yang jelas,” ungkap Abraham.
Selain itu, Abraham menekankan bahwa pemberantasan kejahatan siber memang menjadi tantangan serius di era digital saat ini.
Oleh karena itu, ia mendorong peningkatan kerja sama antarlembaga negara, diiringi dengan penyusunan prosedur operasi standar yang lebih ketat, sehingga penanganan kejahatan siber tetap menghormati batasan konstitusional antara pertahanan dan penegakan hukum.
“Kita semua memiliki komitmen yang sama untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Namun, cara kita menegakkan hukum sama pentingnya dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam negara demokrasi, hukum harus menjadi panglima tertinggi,” tutup Abraham.
Dengan kejadian ini, Abraham Sridjaja berharap menjadi momentum untuk memperjelas kembali batas-batas peran dan fungsi aparat negara, sehingga ke depan upaya menjaga keamanan dan ketertiban tetap dilakukan tanpa mengabaikan prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan supremasi hukum. (yus-ady/c)