MAKASSAR, BKM — Dua orang tersangka kasus dugaan korupsi ditahan penyidik Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Sulsel. Mereka adalah AM Kilat Karaka selaku Direktur PT Haka Utama, dan Sandi Dwi Nugraha dari pihak swasta.
Penahanan dilakukan pada Jumat (15/12), seusai keduanya menjalani pemeriksaan. Polisi menjeratnya dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit Pratama Kabupaten Enrekang tahun 2015.
Sebenarnya, kemarin penyidik melakukan pemanggilan terhadap tiga orang tersangka kasus ini. Hanya saja, Kepala Dinas Kesehatan Enrekang dr H Marwan Ahmad Ganoko tidak menghadiri panggilan.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani menyampaikan hal itu ketika dihubungi, kemarin.
”Iya, ada tiga orang yang dipanggil penyidik untuk diperiksa. Tapi hanya dua orang yang hadir. Kadis Kesehatan Enrekang tidak datang. Karenanya, penyidik kembali akan melakukan pemanggilan. Surat panggilan kedua segera diterbitkan,” jelas Dicky.
Setelah menjalani pemeriksaan, sambung Kabid Humas, keduanya langsung ditahan. Penahanan dilakukan selama 20 hari ke depan. Terhitung 15 Desember 2017 hingga 3 Januari 2018,” terangnya.
Sebelumnya, berkas penyidikan dugaan korupsi pembangunan RSP Enrekang telah dinyatakan rampung alias P21 sejak 6 Oktober 2017. Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini. Masing-masing dr Marwan Ahmad Ganoko yang bertindak selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPS) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sementara Sandy Dwi Nugraha merupakan kuasa direksi perusahaan rekanan PT Haka Utama. Sedangkan Kilat Karaka adalah direktur PT Haka Utama.
Ketiganya dinilai sebagai pihak yang bertanggung jawab atas timbulnya kerugian negara pada pengerjaan proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) APBD Enrekang tahun 2015. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Enrekang.
Anggaran yang dikucurkan sebesar Rp4.738.000.000.
Dalam perjalanan proyek ini, Kilat Karaka selaku Direktur PT Haka Utama memberikan kuasa direksi kepada Sandy Dwi Nugraha untuk mengerjakan seluruh item pekerjaan proyek pembangunan RSP Enrekang. Hal itu dibuktikan dengan akta notaris Fatmi Nuryanti nomor 08 tanggal 9 November 2015.
Dari pengalihan pengerjaan ke Sandy tersebut, Kilat mendapatkan fee sebagai tanda terima kasih sebesar Rp80 juta. Ia mengalihkan pengerjaan utuh ke Sandy, namun tetap menggunakan perusahaannya agar tidak ketahuan jika pengerjaan telah dialihkan alias disubkontrakkan.
Selain itu, penyidik juga menemukan jika dalam pelaksanaan pekerjaan proyek, Sandy mengganti personel inti serta peralatan yang ditawarkan oleh PT Haka Utama sebagaimana tertera dalam kontrak pekerjaan sebelumnya.Ia melakukan hal itu tanpa sepengetahuan dan persetujuan PPK, Panitia Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) maupun Konsultan Pengawas (KP).
Adapun beberapa alat yang tidak digunakan sesuai analisa penggunaan alat. Diantaranya whell loader, dump truck, dan stamper. Namun alat tersebut tetap dibayarkan.
Selain itu, pekerjaan proyek juga mengalami keterlambatan sehingga mendapat penambahan waktu pekerjaan selama 56 hari kalender. Ada pula denda keterlambatan sebesar Rp 255.740.800.
Namun belakangan diketahui pekerjaan pembangunan RSP Enrekang ternyata telah dibayarkan 100 persen. Rinciannya, uang muka sebesar Rp.1.370.040.000, MC 01 sebesar Rp1.051.476.000, dan PHO sebesar Rp 2.145.284.000.
Pembayaran dilakukan panitia dengan mentransfer uang ke rekening Bank Mandiri milik PT Haka Utama bernomor 1740000363010. Atas kejadian itu, negara dirugikan sebesar Rp 1.077.878.252,65 sebagaimana dari hasil audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel.
Para tersangka dijerat Pasal 2 Ayat (1) Subsider Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHPidana. (ish/rus)
Polda Bui Dua Tersangka Proyek RS

×





