pulsa.rovindo.com - Pusat Distributor Pulsa dan TOken
pulsa.rovindo.com - Pusat Distributor Pulsa dan TOken

Huruf Lontara, Aksara di Atas Daun Lontara

Pohon lontara tidak hanya populer karena menghasilkan tuak dan niranya bisa diolah menjadi gula merah. Pohon ini juga berkontribusi terhadap pengembangan budaya masyarakat Sulawesi Selatan terutama Suku Makassar. Huruf lontara atau aksara lontara tetap eksis hingga saat ini karena peranan daun lontara.
Aksara Lontara ialah aksara asli yang dipakai oleh masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. Ada yang berpendapat bahwa Lontara jauh berbeda dengan aksara-aksara lain di Indonesia seperti aksara Jawa, Sunda, Bali, dan lainnya yang merupakan turunan dari akasara Pallawa. Aksara Lontara tidak dipengaruhi oleh kebudayaan lain termasuk kebudayaan Cina dan India.
Dalam buku Menyusuri Jejak Kelahiran Makassar karya Mattulada (1990) disebutkan bahwa kehadiran aksara lontara Makassar yang hingga kini masih tetap eksis itu karena peranan pohon lontara. Mengapa? Pada abad ke-14 di masa kerajaan dahulu, Daeng Pamatte, sang pencipta aksara itu menuliskannya di atas daun atau pelepah lontara. Sebab di masa itu bahan atau tempat untuk menulis seperti kertas belum ada.
Dipilihnya daun lontara ketika itu karena kertas belum dikenal, sementara Pohon Lontar banyak tumbuh. Aksara tersebut mulanya ditulis pada batang Pohon Katangka, batu dan kulit hewan, hanya saja kualitas tulisan tersebut tidak awet.
Barulah daun lontara dianggap efektif dan cocok untuk menuliskan aksara ini. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontara menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar
Berdasarkan silsilah aksara dunia, huruf lontarak berpangkal dari aksara Dewanagari. Pendapat ini merujuk pada buku yang pernah ditulis Profesor Mattulada. Mattulada beralasan Aksara Dewanagari berpangkal dari Aksara Brahmi, yaitu tulisan yang digunakan di India semasa pemerintahan Raja Asoka (270 SM – 232 SM). Huruf ini ditulis dari kiri ke kanan meskipun berdasarkan huruf Arab atau huruf Fenisia di Timur Tengah yang ditulis dari kanan ke kiri. Aksara Brahmi sendiri merupakan cikal bakal dari Huruf Pallawa, salah satu rumpun Aksara Negarawi yang masuk ke Nusantara seiring dengan penyebaran Agama Hindu melalui Huruf Kawi lalu menyebar ke Sumatara bagian Utara.
Banyak kalangan meyakini bahwa aksara Lontara Makassar yang dibuat oleh Daeng Pamatte berpangkal dari Aksara Pallawa (Dewanegari). Ini juga sejalan dengan pendapat Djirong Basang dalam bukunya Struktur Bahasa Makassar (1972) yang mengemukakan beberapa persamaan aksara Dewanegari dengan aksara Lontara Makassar, yaitu keduanya huruf silabis (satu huruf melambangkan satu suku kata); keduanya menggunakan alat bantu untuk menyatakan bunyi /i, e, o, dan u/; keduanya ditulis dari kiri ke kanan.
Menurut Mattulada, bentuk dasar aksara Lontara berasal dari bentuk filosofis sulepa eppa’ walasuji. Sulepa eppa’ berarti segi empat dan walasuji berarti sejenis pagar bambu yang biasa digunakan pada acara ritual. Bentuk ini merupakan bentuk yang dipercaya oleh masyarakat Bugis – Makassar klasik sebagai bentuk yang menggambarkan susunan alam semesta. Aksara lontara Makassar memiliki filosofi mikrokosmos sulappa’ appa’ yang mengandung simbol empat unsur. Konsep sulapak appak inilah dapat dibentuk aksara lontarak yang biasa disebut Urupu Sulappa’ Appa’ atau huruf empat segi.
Aksara Lontara terdiri dari 23 huruf untuk Lontara Bugis dan 19 huruf untuk Lontara Makassar. Perbedaan Lontara Bugis dengan Lontara Makassar yaitu pada Lontara Bugis dikenal huruf ngka’, mpa’ , nca’, dan nra’ sedangkan pada Lontara Makassar huruf tersebut tidak ada.
Dosen Bahasa Daerah Makassar Universitas Negeri Makassar, Kembong Daeng juga membenarkan sejarah aksara lontara yang semula ditulis di atas daun lontara. Menurut dia, fakta ini merupakan sejarah yang tidak boleh dilupakan. Sayangnya, kata dia banyak generasi muda sekarang ini sudah tidak mengenal dan tidak mau tahu sejarah masa lalu. Termasuk sejarah lahirnya aksara lontara Makassar.
“Menurut sejarah memang begitu. Karena ditulis di atas daun lontara, maka aksara Makassar yang diciptakan Daeng Pamatte itu dinamai aksara lontara,” kata dosen Fakultas Bahasa dan Sastra UNM tersebut.
Kembong menambahkan masyarakat Makassar boleh berbangga karena memiliki bahasa dan aksara sendiri. Tidak semua bahasa daerah di Indonesia, kata dia yang memiliki aksara. Kebanyakan bahasa daerah yang ada menggunakan aksara latin yang hampir digunakan semua bahasa dalam kegiatan tulis-menulis. Tapi bahasa Makassar selain memiliki banyak kosa kata, juga mempunyai aksara tersendiri.
Saat ini, aksara Makassar yang lebih populer disebut aksara lontara itu tidak lagi ditulis di atas daun lontara. Aksaranya sudah banyak dimasukkan dalam buku-buku pelajaran terutama pelajaran bahasa Makassar. Tidak saja untuk pelajar sekolah dasar dan sekolah menengah, tetapi juga sampai mahasiswa perguruan tinggi. Universitas Negeri Makassar termasuk salah satu perguruan tinggi yang membina mata kuliah bahasa daerah, termasuk bahasa Makassar (fachruddin palapa)




×


Huruf Lontara, Aksara di Atas Daun Lontara

Bagikan artikel ini melalui

atau copy link

Tinggalkan komentar