MAKASSAR, BKM — Komisi Yudisial (KY) RI menyebut, Provinsi Sulawesi Selatan termasuk daerah yang tingkat pelaporannya cukup tinggi berkenaan pelanggaran dugaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Bahkan menduduki urutan keempat di Indonesia.
Catatan penting KY tersebut diperoleh berdasarkan pelaporan dari masyarakat sepanjang tahun 2017. Dalam penilaian lembaga ini, hal tersebut mengindikasikan jika Sulsel merupakan kawasan yang tingkat independensi hakimnya cukup rentan. Selain itu, banyak laporan yang masuk ke KY berisi permohonan untuk dilakukan pemantauan persidangan. Ada pula laporan yang diteruskan ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) terkait wewenang Bawas MA dan teknis yudisial.
“Banyak juga laporan yang tidak dapat diregistrasi karena bukan kewenangan KY. Seperti meminta perlindungan hukum. Keberatan terhadap substansi putusan. Meminta KY mengubah putusan, atau meminta membatalkan putusan. Bahkan ada laporan yang meminta pendapat hukum atau fatwa hukum dari KY,” kata Farid Wajidi, juru bicara (jubir) KY RI Sulsel, Rabu (17/1).
Dia kemudian merinci 10 provinsi yang terbanyak dilaporkan berkenaan dugaan pelanggaran KEPPH ke KY. DKI Jakarta berada di urutan pertama dengan 318 laporan (21,59 persen). Disusul Jawa Timur sebanyak 174 laporan (11,81 persen). Jawa Barat di posisi ketiga 123 laporan (8,35 persen).
Di urusan keempat Sumatera Utara sebanyak 115 laporan (7,81 persen). Sulawesi Selatan di posisi lima dengan 73 laporan (4,96 persen).
Selanjutnya Jawa Tengah dengan 64 laporan (4,34 persen). Riau 62 laporan (4,21 persen). Sumatera Selatan 48 laporan (3,26 persen). Sumatera Barat 41 laporan (2,78 persen). Dan Nusa Tenggara Barat sebanyak 40 laporan (2,72 persen).
Dari pengalaman KY menangani laporan masyarakat, menurut Farid, salah satu alasan rendahnya persentase laporan masyarakat yang dapat diproses, karena masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap persyaratan yang harus dilengkapi dalam melaporkan hakim yang melanggar KEPPH. Hal ini menjadi tantangan KY untuk lebih mengoptimalkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait wewenang KY dan tata cara laporan masyarakat.
Berdasarkan jenis badan peradilan atau tingkatan pengadilan yang dilaporkan, jumlah laporan terhadap pengadilan negeri dalam lingkup peradilan umum sangat mendominasi. Yaitu sebanyak 1.073 laporan (72,84 persen).
Kemudian berturut-turut, yaitu Mahkamah Agung sebanyak 95 laporan (6,44 persen). Peradilan agama 88 laporan (5,97 persen). Peradilan Tata Usaha Negara 82 laporan (5,56 persen), dan Tipikor sebanyak 52 laporan (3,53 persen).
“Tidak semua laporan dapat dilakukan proses sidang pemeriksaan panel atau pleno. Karena laporan yang masuk perlu diverifikasi kelengkapan persyaratan (telah memenuhi syarat administrasi dan substansi) untuk dapat diregistrasi. Untuk tahun 2017 laporan yang memenuhi persyaratan adalah sebanyak sebanyak 411 laporan masyarakat,” bebernya.
Dari 411 laporan yang telah diregistrasi, tambahnya, 277 berkas telah dianotasi dan dilakukan pemeriksaan kepada pelapor, saksi dan atau ahli. Proses lanjutan laporan adalah pelaksanaan sidang panel dengan putusan laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran KEPPH dapat ditindaklanjuti (DL) atau tidak dapat ditindaklanjuti (TDL).
Sidang panel dilakukan secara tertutup dan bersifat rahasia. Berdasarkan keputusan sidang panel, sebanyak 74 laporan dapat ditindaklanjuti dan 148 laporan tidak dapat ditindaklanjuti.
“Dari 74 laporan yang dapat ditindaklanjuti sepanjang 2017, KY telah melakukan pemeriksaan terhadap 477 orang. Terdiri atas 36 orang kuasa pelapor, 88 orang pelapor, 303 orang saksi (ahli), dan 50 orang hakim terlapor,” terangnya.
Berdasarkan sidang pleno pengawasan hakim KY, ada 36 berkas dari 201 laporan yang dinyatakan terbukti melanggar KEPPH. Kemudian KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 58 hakim terlapor. Rinciannya, 39 hakim terlapor direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi ringan (67,24 persen). 14 hakim terlapor direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi sedang (24,14 persen). Lima hakim terlapor direkomendasikan untuk dijatuhi sanksi berat (8,62 persen).
”Data mengenai laporan masyarakat menggambarkan animo para pencari keadilan untuk menyampaikan laporan berkaitan dengan dugaan pelanggaran kode etik hakim masih besar,” tandasnya.
Memang, kata Farid, harus diakui jika tidak semua laporan para pencari tersebut dapat diproses di KY. Kondisi itu disebabkan syarat formal atau persyaratan administrasi tidak memenuhi. Atau laporan dimaksud bukan ranah kewenangan KY untuk menilainya.
”Jadi tidak ada pilihan lain bagi KY selain terus melakukan edukasi kepada publik berkaitan dengan tata cara, persyaratan dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” pungkasnya.
Selain hakim, KY juga menerima sebanyak 1.473 laporan masyarakat dan 1.546 surat tembusan sepanjang 2017. Berdasarkan jenis perkara, masalah perdata mendominasi laporan yang masuk ke KY, yaitu 679 laporan (46,09 persen). Untuk perkara pidana berada di bawahnya dengan jumlah laporan 414 (28,10 persen).
Data ini, kata Farid Wajidi, menggambarkan dominasi perkara perdata dan pidana. Karena perkara tersebut berada di ranah kewenangan peradilan umum dengan kompleksitas perkara yang tinggi dan sensitif.
Perkara lainnya adalah tata usaha negara sebanyak 87 laporan (5,90 persen). Perkara agama 86 laporan (5,83 persen), dan tindak pidana korupsi (tipikor) sebanyak 78 laporan (5,29 persen). (mat/rus)
Hakim Sulsel Urutan Lima Pelanggaran KEPPH
