pulsa.rovindo.com - Pusat Distributor Pulsa dan TOken
pulsa.rovindo.com - Pusat Distributor Pulsa dan TOken

Selamatkan Generasi Milenial dari Hoaks

Penyebaran berita bohong (hoaks) yang berisi fitnah dan ujaran kebencian di media sosial semakin merajalela. Tidak hanya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya. Hoaks dan segala macam fitnah itu juga sudah merambah pelosok. Cenderung makin tak terbendung. Data Kementerian Komunikasi dan Informasi seperti disampaikan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Keminfo, Niken Widiastuti menyebut sepanjang 2017 konten hoaks di Indonesia mencapai 800 ribu.
Dampak penyebaran hoaks juga tidak kecil. Adu domba dan munculnya sikap saling curiga dan saling menjelekkan antarsesama dan antarkelompok masyarakat kian tak terelakkan. Tidak hanya kalangan dewasa. Anak-anak yang kini disebut generasi milineal pun rawan menjadi korban. Generasi milineal itu banyak yang belum bisa membedakan mana berita hoaks dan mana berita sesungguhnya.
Sebagai bagian dari net generation yang sehari-hari menggunakan gadget dan mengakses informasi lewat internet, risiko generasi milineal terpapar berbagai informasi hoaks memang paling besar. Jutaan anak terhubung dan membangun komunikasi melalui internet dan media sosial. Sejatinya tujuannya baik: mencari informasi dan membangun relasi atau melakukan aktivitas pleasure untuk mengisi waktu luang. Akan tetapi di saat yang bersamaan, tanpa sadar anak-anak net generation itu juga menghadapi godaan provokasi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menyebarluaskan informasi bohong.
Sudah cukup banyak kejadian yang mengabarkan soal pengguna gadget dan internet dari kalangan anak-anak yang menjadi korban penyebarluasan berita hoaks. Mereka mengalami pembunuhan karakter, dipermalukan, difitnah, dan sebagainya. Dampak hoaks sangat instant. Tidak butuh waktu lama. Bukan hitungan hari. Dalam hitungan detik, sebuah berita hoaks bukan tidak mungkin menjadi viral yang dibaca dan dilihat jutaan bahkan puluhan juta orang melalui media sosial.
Melihat fenomena ini, semua pihak harus berperan dalam melawan hoaks. Terutama dalam menyelamatkan anak-anak generasi milineal dari korban hoaks. Sebab penyebarluasan berita hoaks cenderung makin liar dan dirasa sudah melewati batas toleransi dan bahkan meresahkan masyarakat. Penyebaran hoaks harus segera disetop supaya tidak menambah jumlah korban lagi.
Pemerintah sudah mengambil sikap tegas dengan memblokir situs penyebar hoaks sekaligus menghukum orang-orang yang memproduksi dan menyebarluaskan hoaks. Masyarakat juga sudah banyak membentuk lembaga pemantau dan pencegah hoaks. Salah satunya Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) yang memiliki relawan di hampir semua provinsi di Indonesia. Lembaga ini juga aktif melakukan kampanye dan sosialisasi antihoaks di beberapa kota di Indonesia.
Dalam sebuah acara di Makassar, Ketua Mafindo, Septiaji Eko Nugroho mengungkapkan lima cara mengecek berita hoaks. Pertama, memeriksa ulang judul berita provokatif. Judul berita kerap dipakai sebagai jendela untuk mengintip keseluruhan tulisan. Namun tak jarang hal itu dimanfaatkan para penyebar berita palsu dengan mendistorsi judul yang provokatif meski sama sekali tak relevan dengan isi berita. Mafindo menyarankan pembaca untuk mengecek sumber berita lain agar informasi yang diterima bukan hasil rekayasa.
Kedua, mengecek dan meneliti domain dan alamat situs web. Dewan Pers memiliki data lengkap semua institusi pers resmi di Indonesia. Data yang terhimpun itu bisa digunakan oleh pembaca sebagai referensi apakah sumber berita yang dibaca telah memenuhi kaidah jurnalistik sesuai aturan Dewan Pers. Cukup mengetik nama situs berita di kolom data pers, pembaca dapat mengetahui status media yang mereka konsumsi berdasarkan standar Dewan Pers.
Lalu yang ketiga, membedakan fakta dengan opini. Mafindo menganjurkan pembaca tidak menelan mentah-mentah ucapan seorang narasumber yang dikutip oleh situs berita. Sering kali hal itu luput dari pembaca karena pembaca terlalu cepat mengambil kesimpulan. Semakin banyak fakta yang termuat di sebuah berita, makin banyak kredibel berita itu.
Keempat adalah cermat membaca korelasi foto dan caption yang provokatif. Persebaran foto provokatif dengan imbuhan tulisan yang telah disunting. Cara termudah menguji keabsahan informasi dari foto yang diterima, pembaca bisa membuka Google Images di aplikasi penjelajah lalu menyeret foto yang dimaksud ke kolom pencarian.
Cara terakhir adalah ikut serta dalam komunitas daring. Menurut Septiaji, setidaknya ada empat komunitas yang getol memerangi berita palsu di Indonesia. Keempatnya itulah yang menjelma menjadi Mafindo. Dengan model crowdsourcing, komunitas itu berusaha menyaring dan mengklarifikasi informasi yang meragukan kebenarannya.
Selain panduan Mafindo, upaya menyelamatkan anak-anak dari dampak hoaks juga bisa dilakukan dengan mengajarkannya di satuan pendidikan menengah. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). literasi digital atau literasi media perlu menjadi bahan ajar di sekolah. Teknik dan metode pengajarannya bisa dirancang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pengajaran literasi digital di sekolah juga sudah dilakukan di banyak negara. Seperti misalnya di Amerika Serikat dan Inggris. Karena khawatir penyebaran secara pesat berita-berita palsu, sekolah-sekolah di negara itu sudah mulai didorong untuk memberikan pengajaran kepada para siswanya untuk dapat menge nal kabar bohong atau membedakan antara fakta dan fiksi. Anggota parlemen di beberapa negara bagian di Amerika membuat peraturan agar sekolah-sekolah negeri dapat berbuat lebih banyak untuk mengajarkan keterampilan literasi media, yang menurut mereka sangat penting untuk demokrasi.
Jika guru yang kompeten mengajar literasi digital terbatas, sekolah bisa melibatkan jurnalis atau praktisi media. Ini juga dilakukan di Inggris. Kantor berita British Broadcasting Coorporation (BBC) berinisiatif untuk membantu para siswa untuk mengenal kabar bohong dengan mengirimkan wartawan-wartawannya sebagai mentor, baik secara daring (online) maupun luring (offline) di sejumlah sekolah. Sejumlah organisasi jurnalis di Indonesia seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia, dan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) tentu tidak keberatan dilibatkan dalam pengajaran literasi media di sekolah. (Fachruddin Palapa Jurnalis Berita Kota Makassar)


Share


Komentar Anda



Tinggalkan komentar