Kawasan pertambangan nikel PT Vale di Soroako Luwu Timur termasuk kawasan yang super sibuk. Setiap hari. Pagi hingga sore. Hilir mudik truk-truk raksasa seakan tak pernah berhenti di tempat ini.
Di atas gundukan tanah, eskavator terus menggali. Di bagian lain, beberapa truk terlihat mengangkut material-material nikel untuk dibawa ke lokasi prosess plant atau area pengemasan. Sepanjang mata memandang, hanya gundukan tanah merah kecokelatan. Yang dominan justru sejumlah pohon mulai tumbuh. Pepohonan yang mulai menghijau itu sebelumnya adalah lokasi galian tambang.
Aktivitas pertambangan berjalan beriringan dengan kegiatan penanaman dan membangun hutan di kawasan ini. Pertambangan terus berjalan. Di lain sisi, membangun hutan di areal purna tambang juga tak pernah berhenti. Terciptalah keseimbangan alam yang saling menguntungkan. Ada kegiatan eksplorasi alam. Ada juga kegiatan membangun keberlangsungan lingkungan.
Luas kawasan yang sudah ditambang PT Vale mencapai 5.900 hektare. Tetapi yang sudah direklamasi atau dijadikan hutan mencapai 4.200 hektare. Masih ada 1.600 hektare yang masih terbuka. Perusahaan nikel ini tetap berkomitmen untuk menghutankan semua areal bekas penambangan.
Memang tidak banyak perusahaan tambang yang memiliki komitmen seperti PT Vale. Justru yang banyak perusahaan meninggalkan lokasi bekas tambangnya begitu saja. Cuek dan tidak peduli. Seperti kata pepatah habis manis sepah dibuang. Habis menambang, arealnya ditinggalkan. PT Vale sudah membangun hutan baru sejak 2005 lalu.
Hutan baru milik PT Vale dikelola secara komprehensif. Profesional. Tidak asal-asalan. Juga tidak tanggung-tanggung. Pembangunan hutan baru itu diawali dengan kegiatan pembibitan. Ada kawasan nusery (pembibitan) yang khusus menyiapkan bibit dengan aneka ragam pohon. Setelah pembibitan dilanjutkan dengan penanaman atau yang lazim disebut reklamasi. Reklamasi dilakukan di areal purna tambang.
Hamparan bibit pohon beragam jenis tersedia dan tertata rapi di lokasi Nursery PT Vale Indonesia, Sorowako. Ada sekitar 20 ribu jenis bibit pohon yang dipersiapkan PT Vale Indonesia di fasilitas pembibitan pohon ini untuk dipersiapkan di lahan reklamasi pasca tambang. Ada mahoni, kaloju, tapi-tapi, jambu-jambu, salam, ketapang, malotus, sepatu dea, buri, kayu angin, kayu hitam, gaharu, kayu tanduk dan jenis lainnya. Selain pohon, ada juga tanaman obat-obatan. Semua pohon yang ditanam di areal purna tambang berasal dari sini.
Kawasan Nursery memiliki luas lahan dua hektare. Program ini dikembangkan sejak 2005 ini, mempekerjakan 16 orang karyawan. Manager Reklamasi Tambang PT Vale, Yohan Lawang menyebut karyawan Nursery itu juga sebagai tukang kebun. Pengelolaan Nursery tidak dibuat dalam bentuk homogen. Tetapi presentasenya merata. Bibitnya langsung diambil dari hutan. Ada beberapa tahapan pengembangan bibit di areal Nursery. Mulai dari green house, shade area dan open area. “Bibit yang sudah berusia dua hingga tiga bulan baru dipindahkan ke shade area,” kata Yohan.
Sejauh ini, kata Yohan, tidak ada kendala dalam tahap reklamasi. Dalam setahun Nursery memproduksi 700 bibit pohon. Jumlah ini sesuai kebutuhan. Tahun 2018 ini, pembibitan ditargetkan mencakup 75 hektare. “Nanti per hektarnya berupa tanaman pionir. Jumlahnya 400 pohon. Kalau tanaman lokal 1.000 per hektare. Dalam tahapannya, presentase kegagalan itu berkisar 10 hingga 15 persen dari 700.000 yang ditargetkan,” bebernya.
Butuh waktu berapa lama lahan yang dimanfaatkan untuk penanaman?, Menurut Yohan, semua bergantung pada karakter lahan yang sudah ditambang. Ia mengakui untuk proses reklamasi butuh waktu cukup lama. Jika penggalian lahan telah selesai, nikelnya sudah diambil, selanjutnya material tanah ditutup.
“Jika material tanah sudah ditutup itu baru masuk tahap reklamasi. Sebab proses penambangan tidak ada cadangan. Sementara, jumlah cadangan nikel cukup banyak. Jadi sebenarnya proses reklamasinya cepat, tapi nambangnya yang lama,” katanya.
Soal kemampuan produksi, kata dia, kebutuhan kebun bibit bisa mencapai 7.000 per tahun. Sedangkan rasio kebutuhan dalam setahun sekitar 200 hingga 300-an. “Saat ini, sudah sekitar 53 bibit yang diproduksi. Sementara, yang sudah ditanam berkisar 70 hingga 80-an bibit dari berbagai jenis,” katanya.
Di lahan reklamasi, ditanam 500 pohon per hektare. Bibitnya bersumber dari Nursery. Setelah berumur dua hingga tiga tahun baru ditanami dengan tanaman lokal. Bibitnya beragam. Ada mirtase, taloju, kayu hitam, kemudian jenis buri sebagai pionir, dan jenis endemik.
Dalam proses rehabilitasi, disiapkan tanaman pionir sekitar 400 pohon per hektare. Sedangkan untuk kayu lokalnya sebanyak 1.000 bibit pohon. Menurut Yonan, target utamanya menghutankan dulu. “Kecuali ada sumber mata airnya, itu tidak boleh ditambang. Hitungannya 200 meter dari lokasi mata air, itu tidak boleh ditambang,” katanya.
Pada setiap lokasi juga terdapat sebuah tempat pembibitan yang dilengkapi paranet. Fungsinya, kata Yonan, untuk menutup pancaran sinar matahari. “Tumbuhan kan ibarat bayi. Jadi untuk bibit yang masih muda kita kasih paranet buat adaptasi. Tujuannya untuk mengurangi itensitas cahaya matahari,” tuturnya.
Juli 2018 lalu, sejumlah jurnalis berkesempatan melihat langsung pengelolaan lingkungan di PT Vale, termasuk hutan yang dibangun di areal purna tambang tersebut. Perjalanan dipandu Senior Manager Communications PT Vale Budi Handoko. Saat memandu, Budi menunjuk pohon eboni, pohon kayu hitam super mahal itu. Usianya sudah dua belas tahun. Tapi, tingginya masih kira-kira lima meter. Batangnya bisa digenggam dengan dua tangan orang dewasa. “Eboni endemik Sorowako. Kayunya memang kuat. Jadi tumbuhnya lama,” jelasnya.
Di lokasi yang sama ada pohon kersen. Buahnya disukai burung dan satwa endemik lainnya. Ada juga pohon nangka. Semua disajikan buat santapan aneka hewan di hutan itu. “Itu sengaja kita tanam agar hewan-hewan asli hutan di sini seperti rusa, monyet dan aneka unggas kayak burung bisa kembali lagi ke bekas tambang,” terangnya.
Selain membangun hutan di lokasi purna tambang, PT Vale juga memberi perhatian khusus terhadap pengelolaan air. Salah satunya dengan membangun Mining and Revegetation Area Visit, lokasi penyaringan air dari hasil pertambangan yang disebut Lamela. Di lokasi ini, campuran air dan lumpur terlebih dahulu difilter sebelum air disalurkan ke danau.
Sesuai prosedur, air hasil penambangan tersebut memang tidak bisa langsung dilepas begitu saja ke danau. Terlebih dahulu melewati proses pengendapan. “Yang namanya air limpasan tambang itu memang berlumpur. Agak kotor. Kurang lebih disebut limbah. Makanya harus dikelola dulu di sini. Jadi diinjeksi di sini. Ada namanya Bila-bila Lamela, nah itu mempercepat proses pengendapan. Nanti kalau airnya keluar, itu sudah dalam kondisi bersih,” papar,” kata Hidrologi Desainer PT Vale, Elia.
Penghargaan Lingkungan
Perhatian terhadap penambangan berkelanjutan yang dibuktikan dengan pengelolaan lingkungan memberi nilai positif bagi perusahaan ini. Tidak mengherankan jika apresiasi pemerintah di bidang lingkungan terus diperoleh PT Vale. Sederet penghargaan bidang lingkungan baik proper maupun aditama sudah dikoleksi perusahaan yang bermarkas di Soroako, Kabupaten Luwu Tumur tersebut.
Penghargaan sebagai perusahaan terbaik dalam pengelolaan lingkungan pertambangan mineral antara lain diperoleh PT Vale dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Oktober 2014. Setahun sebelumnya, perusahaan ini juga meraih Aditama (Emas) untuk pengelolaan lingkungan pertambangan kategori perusahaan tambang kontrak karya dan Penghargaan Pratama (Perunggu) untuk pengelolaan keselamatan pertambangan mineral dan batubara.
Evaluasi kinerja lingkungan PT Vale juga dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper). Enam tahun berturut-turut (2011-2017), PT Vale berhasil mempertahankan peringkat proper biru. Peringkat tersebut diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan sesuai dengan persyaratan perundangan. Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Sulsel, Muhammad Hasbi memprediksi perusahaan ini meraih proper hijau pada 2020. (fachruddin)