Seorang wanita hamil mengalami sakit gigi. Seperti biasa, si wanita membeli obat dan mengkonsumsinya. Beberapa menit kemudian tiba-tiba ia pusing dan mual-mual dan akhirnya pingsan. Keluarganya pun panik lalu mencari kemasan obat tersebut. Ternyata obat tersebut tidak cocok dikonsumsi bagi orang hamil Idealnya, wanita hamil tersebut membaca terlebih dahulu informasi tentang obat tersebut sebelum mengkonsumsinya
Di lain tempat, terlibat pertengkaran mulut antara saudagar dan pembeli karena misperhitungan utang piutang. Sang Saudagar merasa masih punya piutang, sementara Sang Pembeli menganggap utangnya sudah lunas. Konflik tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika saja salah satu dari mereka memiliki bukti pembayaran angsuran secara tertulis.
Kedua anekdot di atas adalah klise sederhana yang mungkin pernah ada dan terjadi disekitar kita. Meskipun terkesan klise, namun, dapat menggugah kesadaran kita bahwa pembiasaan baca-tulis adalah penting dan bagian dari hidup keseharian kita. Paradigma lama yang mengidentikkan kegiatan baca-tulis identik dengan aktivitas sekolah tampaknya sudah harus direvisi dan diganti dengan paradigma baru, yaitu meyakini bahwa kegiatan baca-tulis merupakan kebutuhan utama dan kunci untuk mempelajari segala ilmu pengetahuan, termasuk informasi atau petunjuk sehari-hari serta pendokumentasian kejadian yang berdampak besar bagi kehidupan. Ketika membeli obat dibutuhkan kemampuan untuk memahami petunjuk konsumsi pemakaian yang terterah Jika salah, tentu akibatnya bisa fatal. Bukti transaksi jual-beli berupa daya ingat tidak akan menyelesaikan masalah ketika terjadi sengketa. Dampak dari kedua anekdot tersebut memberikan amanat pada kita untuk tidak menyepelehkan pembiasaan baca-tulis.
Diberbagi forum pertemuan dan media massa, praktisi dan pemerhati pendidikan mengkritisi fenomena rendahnya minat dan daya baca-tulis terhadap informasi yang aktual dan terkini. Ironisnya, fenomena tersebut telah menjadi “penyakit diri” bagi sebagian orang di saat sarana dan prasarana informasi tersedia dan tersebar di mana-mana serta dapat dengan mudah diakses. Keberadaan alat informasi dan komunikasi yang canggih, seperti komputer, laptop, android dan berbagai alat komunikasi berbasis elektronik lainnya ditengarai belum mampu mengubah mindset sebagian besar orang (pengguna) sebagai sarana mengakses ilmu pengetahuan di abad 21. Akibatnya, mereka kurang memiliki skemata pengetahuan untuk membangun sumber daya manusia yang handal dan dapat besaing di abad 21. Peradaban abad 21 memunculkan gejala ajang kompetisi pada semua bidang kehidupan. Mereka yang tanggap dan kritis serta mampu beradaptasi dengan gejala tuntutan abad 21 akan memiliki peluang meningkatkan status sosialnya atau taraf kesejahteraannya. Sementara yang tidak mampu beradaptasi akan tersingkir dan tersisi.
Terminologi abad 21 dalam ranah lapangan kerja menuntut setiap individu untuk memiliki kecakapan atau keterampilan baik hard skill maupun soft skill yang mumpuni agar dapat terjun ke dunia pekerjaan dan siap berkompetisi dengan negara lain. Kecakapan hard skill dan soft skill yang dimaksud meliputi kecakapan berpikir kritis, komunikasi, berkolaborasi, berkreativitas dan berinovasi. Kelima kecakapan ini telah lama dirilis UNESCO (1996) melalui pencanangan empat prinsip belajar abad 21, yaitu Learning to know (belajar menngetahui), Learning to do (belajar melakukan sesuatu), Learning to be (belajar menjadi sesuatu), dan Learning to live together (belajar hidup bersama). Keempat pilar prinsip pembelajaran ini sepenuhnya didasarkan pada kemampuan literasi. Oleh karena itu, Pemerintah mengamanahkan pembelajaran abad 21 pada dunia pendidikan. Salah satu karakteristik pembelajaran abad 21 adalah penguasaan keterampilan yang berupa literasi dasar, yaitu literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.
Diantara keenam literasi dasar tersebut, keberadaan, kedudukan, fungsi, dan peran literasi baca-tulis sangat fundamental dan strategis. Dikatakan demikian karena literasi ini tidak hanya mendasari makna keseluruhan jenis literasi yang ada sekarang, tetapi juga menjadi sokoguru atau tiang pokok jenis-jenis literasi lainnya, menjiwai macam-macam literasi lainnya, dan melandasi penguasaan dan kemampuan literasi lainnya sehingga literasi baca-tulis menjadi serat atau unsur terdalam di segala jenis literasi. Hal tersebut menjadikan literasi baca-tulis sebagai penyangga utama terwujudnya masyarakat baca-tulis dan budaya baca-tulis. Konsekuensinya, semua individu, anggota masyarakat, dan warga bangsa Indonesia perlu menguasai literasi baca-tulis dengan baik agar mereka menjadi penyangga dan penjaga keberadaan dan kemajuan masyarakat bacatulis dan budaya baca-tulis. Oleh karena itu, dalam konteks Gerakan Literasi Nasional (GLN), literasi baca-tulis ditanamkan, dibiasakan, dan dibudayakan di ranah sekolah, keluarga, dan masyarakat
Dalam konteks aplikasi pembelajaran, kecakapan literasi baca-tulis dianggap penting karena membaca sendiri merupakan pintu ilmu pengetahuan. Di samping itu dengan membaca, menempatkan imajinasi bagi kontribusi yang akan diberikan oleh peserta didik ketika dewasa nanti. Selanjutnya, dengan terbiasa menulis sejak dini, maka ketika berada di jenjang pendidikan berikutnya “pincang menulis” tidak akan terjadi. Kemampuan menulis dengan bimbingan yang tepat akan menjadi jalan untuk mengartikulasikan pikiran secara cerkas. Komponen utama penulisan yang terdiri dari pikiran utama, ide pendukung, dan kesimpulan diharapkan menjadi kebiasaan intelektual dari peserta didik dalam menulis Oleh karena itu. kemampuan menulis itu harus dibimbing, terutama oleh guru bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Pembimbingan tersebut melalui tahap main ideas (isu pokoknya itu apa). Tahap selanjutnya, adalah supporting ideas (yang mendukung terhadap ide itu) kemudian tahap konklusi atau rekomendasi.
Jika peserta didik telah memiliki kemahiran membaca dan menulis maka pembimbingan berikutnya adalah kecakapan berkomunikasi. Inti dari komunikasi adalah tranformasi ide dari bentuk tulis dan baca. Dengan 3 inti literasi yakni membaca, menulis, dan berkomunikasi diharapkan peserta didik memiliki bekal yang cukup untuk menjadi sumber daya manusia unggul di abad ke-21 dan menjadikan Indonesia setara negara maju lainnya

PENTINGNYA KECAKAPAN LITERASI BACA-TULIS ABAD KE-21
Komentar Anda