MAKASSAR, BKM — Pemerintah pusat kini tengah menggodok rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, besaran kenaikannya disebut-sebut dua kali lipat.
Jika selama ini iuran peserta kelas I sebesar Rp80 ribu, diusulkan menjadi Rp160 ribu. Sedangkan kelas II, diusulkan naik dari Rp55 ribu menjadi Rp110 ribu.
Pro dan kontra pun bermunculan di tengah masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota. Tak terkecuali warga Makassar.
Aziz Darwin, tokoh masyarakat Kelurahan Katimbang, Kecamatan Biringkanaya menegaskan, dirinya akan sangat terbebani jika kenaikan iuran tersebut jadi diberlakukan. Apalagi dia punya pengalaman miris. Dirinya tak bisa mendapatkan layanan kesehatan menggunakan BPJS sebelum tunggakannya dilunasi.
“Jujur, saya tidak setuju itu (kenaikan iuran BPJS). Karena kita ini tidak pasti pendapatan yang diterima setiap bulannya. Kita urus peralihannya susah sekali. Ada syarat ini itulah. Bikin pusing. Baru pelayanan rumah sakitnya seperti apa,” cetus Aziz, Selasa (3/9).
Diakuinya, saat ini banyak warga di sekitar rumahnya yang berusaha mengurus peralihan dari BPJS mandiri menjadi peserta BPJS penerima bantuan iuran (PBI) melalui Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dibiayai oleh negara.
“Kita betul-betul terbebani. Semakin sulit kita dapat layanan kesehatan, karena tidak mampu bayar iuran BPJS. Tunggakan iuran semakin besar juga pasti,” tandasnya.
Warga Tamalanrea Indah Faridah Arsyam, mengaku tidak mempermasalahkan kenaikan iuran BPJS, selagi pelayanan yang diberikan bertambah baik. Walaupun diakuinya tentu memberatkan, karena tanggungan per bulan juga semakin besar dengan jumlah anggota keluarga yang banyak pula.
“Tidak apa-apa kalau pemerintah mau naikkan. Tapi perbaiki juga juga pelayanan rumah sakit. Kalau seperti saya ini, punya enam anak semua peserta BPJS kelas 2, otomatis bayar iurannya juga dobel. Kewalahan kita,” cetusnya.
Hasbiah, ibu rumah tangga yang bermukim di Sudiang, menilai kenaikan iuran BPJS yang direncanakan pemerintah akan membebani rakyat kecil seperti dirinya. ”Kalau memang jadi naik, ramai-ramai beralih ke KIS saja,” ujarnya.
Hal serupa dikeluhkan Rusnah. Ibu ini memiliki enam orang anggota keluarga yang terdaftar di BPJS mandiri dengan fasilitas kelas satu. ”Kalau jadi naik, pindah saja ke kelas 3. Atau pindah ke asuransi kesehatan lain.” imbuhnya.
Anggaran Membengkak
Gubernur Sulsel HM Nurdin Abdullah mengaku belum tahu terkait rencanan kenaikan tersebut. Karenanya, dia belum bersedia memberi komentar sebelum mendapat informasi tertulis secara resmi.
“Belum dengar. Bagaimana saya memberi tanggapan kalau belum dengar. Itu kan masih info. Pastikan dulu secara tertulis nanti. Tidak enak kan kita langsung komentar tapi belum tahu,” singkat Nurdin, kemarin.
Sementara Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Sulsel Bachtiar Baso, mengaku sudah tahu rencana pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS. Dia memprediksi, kenaikan tersebut akan memengaruhi anggaran kesehatan yang harus disiapkan Pemprov Sulsel.
“Anggaran kesehatan untuk tahun 2020 dipastikan membengkak. Kenaikan iuran BPJS untuk penerima bantuan iuran atau PBI jadi penyebabnya,” jelas Bachtiar, Selasa (3/9).
Dia mengatakan, Sulsel setiap tahunnya menganggarkan Rp190 miliar untuk anggaran kesehatan peserta PBI. Dari jumlah itu, 40 persennya ditanggung pemprov. Sementara 60 persen ditanggung kabupaten/kota.
“Beban kami juga bertambah. Anggarannya harus naik dua kali lipat, karena iuran naik drastis,” kata Bachtiar.
Dinkes Sulsel mencatat ada 1.735.222 juta jiwa peserta PBI di daerah ini. Tentu dengan kenaikan iuran untuk peserta PBI dari Rp25 ribu menjadi Rp42 ribu, sangat tidak memungkinkan untuk menutupi semua. Apalagi pemprov juga bakal membangun RS regional.
“Saya laporkan ke gubernur supaya diantisipasi memang dari sekarang. Kami juga harap banggar (badan anggaran DPRD Sulsel) bisa mengerti ini,” jelasnya.
Bachtiar mengaku, jika iuran BPJS naik, hal ini sebaiknya diikuti dengan perbaikan pelayanan. Apalagi keluhan warga terkait layanan BPJS masih banyak.
“Misalnya untuk obat atau ruangan yang sulit didapat. Jadi sebaiknya diikuti dengan perbaikan pelayanan. Tidak adami juga alasan soal defisit nanti,” tegasnya.
Kembali ke Jamkesda
Wakil Bupati Enrekang Asman menegaskan, rencana pemerintah pusat untuk menaikkan iuran BPJS akan memberatkan APBD dan masyarakat di daerah ini. Sehingga akan menimbulkan persoalan baru. Karenanya, ia meminta agar rencana tersebut dipertimbangkan secara matang.
”Logika sederhananya saja, iuran yang sekarang saja banyak yang menunggak. Apalagi kalau iuran BPJS dinaikkan,” ujar Asman yang ditemui di rumah jabatan wabup, kemarin.
Meski begitu, dirinya tidak bisa menolak jika kenaikan tersebut tetap diberlakukan. Sebab hal tersebut merupakan kebijakan pemerintah pusat.
Di depan Umar, legislator Nasdem Enrekang yang berada di rujab, Asman mencoba memberi saran. Menurutnya, akan lebih efisien bila urusan kesehatan ini dikembalikan ke daerah dengan menggunakan sistsm yang lama, yaitu Jamkesda.
Dikatakan Asman, ketika Jamkesda diterapkan, jarang terdengar ada keluhan dari masyarakat. Begitu ada yang sakit dan masuk rumah sakit, mereka hanya membawa surat keterangan yang langsung diurus oleh daerah. Kalau pun ada pasien yang mesti dirujuk, daerah menjalin kerja sama dengan rumah sakit.
”Daripada begini. Terkadang ada pasien, warga kita yang sakit mau dirujuk ke rumah sakit rujukan, sampai berhari-hari tidak dapat rumah sakit. Bahkan sampai ada yang meninggal, dengan alasan kamar terisi penuh,” beber Asman.
Memberatkan Keuangan Daerah
Wakil Bupati Bulukumba Tomy Satria Yulianto, menyambut baik rencana pemerintah pusat. Namun ia berharap, kenaikan iuran BPJS tersebut tidak membebani daerah.
”Jika memang harus naik dan menjadi beban bagi daerah, itu akan jadi persoalan. Menyulitkan masyarakat dan pemerintah daerah. Terutama bagi peserta mandiri, karena iurannya akan semakin tinggi,” ujarnya, Selasa (3/9).
Selama ini, menurut Tomy, Pemkab Bulukumba telah mengcover iuran BPJS lebih dari 82 ribu jiwa warganya. Total yang mesti dibayar sebesar Rp20 milira. Artinya, jika naik maka akan semakin memberatkan keuangan daerah.
“Sekarang ini kita ada beban untuk memberikan 100 persen jaminan kesehatan. Untuk Kabupaten Bulukumba sendiri, ada 82 ribu jiwa yang kita biayai dengan premi Rp25 ribu. Belum termasuk yang ditanggung dari Kementerian Sosial sebanyak 142 jiwa. Nah, kalau iuran dinaikkan dan menjadi beban kabupaten, berarti kita akan kehilangan sumber dana untuk membiayai program yang lain,” tandasnya.
Karenanya, Tomy berharap rencana tersebut dipertimbangkan matang-matang oleh pemerintah. Di tengah pertumbuhan ekonomi yang belum sehat, kata dia, sebaiknya kenaikan tersebut dipending dulu.
Pemerintah pusat, kata dia, patut mencari solusi terkait kekurangan dana yang terjadi saat ini. Tetapi dengan harapan, jangan menjadi beban bagi pemerintah daerah.
Terkait kewajiban menyiapkan infrastruktur kesehatan untuk menunjang kenaikan iuran BPJS kesehatan, Tomy menegaskan bahwa itu bukan keharusan daerah.
“Bukan kita yang menyiapkan. Rumah sakit yang menyelenggarakan BPJS Kesehatan yang harus melakukannya,” tandasnya.
Barru Siap Bayar
Bupati Barru Suardi Saleh tidak mempermasalahkan jika rencana kenaikan iuran BPJS jadi diberlakukan. Bahkan, kata dia, kenaikan tersebut bukan kendala untuk menjadikan semua warga kurang mampu di daerah ini masuk dalam kepesertaan BPJS.
Ditemui di gedung DPRD Barru, Selasa (3/9), Suardi menjelaskan, sejak 2017 sebanyak 93 atau sekitar 13.000 warga kurang mampu di daerah ini telah dibayarkan BPJSnya. Masih ada tersisa 7.000 lebih yang belum diakomodir.
”Jadi, kenaikan iuran BPJS bukan menjadi penghalang bagi pemkab untuk menuntaskan target pembayaran kepada 7.000-an warga kurang mampu. Anggaran pemkab sudah siap dibayarkan, ” tandas Suardi optimistis.
Kabupaten Barru, menurut Suardi Saleh, sudah masuk zona hijau. Karena capaian pembayaran BPJS untuk warga kurang mampu sudah mencapai 93 persen. Target 7.000 warga kurang mampu yang tersisa dan belum tercover BPJS akan segera terselesaikan tahun ini. (rhm-her-udi-min-ita-jun/rus)