TUMOR otak telah merenggut masa kanak-kanaknya. Dia pun kini hanya terbaring lemas, berharap ada kesembuhan bagi dirinya. Juga uluran tangan dari para dermawan.
DI ruang unit gawat darurat (UGD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Wahidin Sudirohusodo. Seorang anak lelaki berada di atas tempat tidur. Kepalanya plontos tanpa rambut. Di tangan kiri dan kanannya terpasang jarum infus.
Anak ini bernama Yahya Zakaria. Usianya baru 12 tahun. Beralamat di Tongkonan Basse, Masalle, Kabupaten Enrekang. Ia tengah berjuang melawan penyakit yang menderanya. Dokter mendiagnosanya mengidap tumor otak.
Ibunda Yahya Zakaria bernama Sulfitra, menuturkan awal mula penyakit yang diderita buah hatinya itu. Kata dia, sewaktu masih kecil kondisi Yahya terbilang normal. Sama seperti anak pada umumnya. Tidak menunjukkan ada gejala penyakit.
Namun, saat usianya beranjak sembilan tahun dan duduk di kelas III SD, tanda-tanda sakit mulai dirasakannya. Seluruh badannya kaku kala itu. Pihak keluarga kemudian memutuskan untuk berobat alternatif. Yahya dibawa ke tukang urut di kampungnya.
”Dulu kondisinya normal, sama dengan anak-anak lainnya. Tapi setelah naik kelas III SD, tiba-tiba dia rasa badannya lemah. Kalau jalan dia pincang. Kita pikir dia habis jatuh. Lama kelamaan tidak sembuh-sembuh. Malah tambah kaku badannya. Akhirnya kita rutin bawah ke tukang urut,” terang Sulfitra, kemarin.
Hanya saja, kesembuhan tak kunjung didapat. Malah yang terjadi sebaliknya. Pada bulan Agustus 2019 lalu, Yahya kembali menjalani terapi urut. Saat itulah dia kejang-kejang.
Orangtua Yahya kemudian memutuskan untuk membawa anaknya ke puskesmas di Masalle, lalu dirujuk ke rumah sakit di Enrekang. Karena alat yang ada di rumah sakit ini tidak memadai, akhirnya Yahya dirujuk lagi ke rumah sakit yang ada di Palopo. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan, dokter mendiagnosanya mengidap tumor.
”Awalnya kita bawa ke puskemas di Masselle. Dia diinfus di sana. Selanjutnya dibawa ke RS Enrekang, dan dirujuk ke RS di Palopo. Setelah di CT scan di situ, kita baru tahu ternyata ada tumor di otaknya. Baru kita bawah ke sini (RS Wahidin). Selama ini dan sampai sekrang dia masih ada respon. Tapi kalau selesai kemo, dia oleng (pusing),” jelas Sulfitra lagi.
Anak kedua dari empat bersaudara ini sudah tiga kali menjalani operasi. Kini Yahya akan menjalani operasi yang keempat kalinya untuk perbaikan selang di otaknya.
“Umurnya sekarang 12 tahun. Kelas 6 SD. Dia memang sedikit terlambat (sekolah) dari usianya. Ini sudah masuk tiga kali dia menjalani operasi perbaikan selang di dalam otaknya. Nanti ini mau dilihat lagi apakah ada perbaikan selang. Karena terakhir dia operasi tidak stabil kondisinya. Ini dilihat apakah ada selang yang tersumbat,” tuturnya dengan nada sedih.
Di awal masuk RS Wahidi, dokter menyampaikan bahwa harus diambil tindakan operasi sinar laser sebanyak 30 kali. Namun baru 27, kondisi Yahya sudah drop dan akhirnya masuk UGD.
”Terus, dokter bilang sudah tidak bisa operasi sinar laser karena dianggap selesai. Akhirnya sekarang dikemoterapi. Sampai sekarang sudah dua kali siklus kemo. Setelah itu kita bawah pulang. Belum satu hari kita bawa pulang, drop lagi. Ketiga kalinya masuk lagi rumah sakit, nanti kemo lagi,” tambahnya.
Sulfitra belum dapat memperkirakan kemungkinan sembuh bagi anak laki-lakinya itu. Keluarga berharap ada bantuan dan dukungan bagi kesembuhan bagi Yahya, sehingga bisa kembali bersekolah seperti anak-anak seusianya.
”Kita belum dikasih tahu dokter apakah bisa (sembuh). Siapa tahu kita bisa ditanya kondisinya. Sebisa mungkin kita berharap anak kami bisa sembuh,” ujarnya.
Selama menjalani perawatan, Yahya tertolong dengan BPJS yang dimiliknya. Namun untuk hal-hal lain, seperti pembelian obat dan keperluannya selama di rumah sakit, keluarga harus menanggungnya dan mencari cara untuk kesembuhan Yahya meski dalam kondisi terbatas.
Sebelum kondisi Yahya seperti saat ini, pihak keluarga enggan memohon bantuan. Hanya saja, kini keluarga tidak punya cara lain, Mereka berharap uluran tangan dermawan yang ingin membantu.
“Pengobatan dia punya BPJS. Tapi kalau obatnya biasa tidak ada, kita beli di luar. Saya tidak tahu berapami semua biayanya. Yang penting anak kami bisa sembuh,” terangnya.
Penderitaan yang dialami Yahya serta kondisi kekurangan biaya yang dialami keluarganya, ramai beredar di media sosial. Sulfitra mengatakan, ia sebenarnya tidak ingin melakukan hal seperti itu. Namun atas saran dari berbagai pihak, dia pun mengiyakan untuk diposting. Bahkan ada teman sekamarnya di rumah sakit yang memberikan nomor untuk masuk program peduli sehat. Ada yang ingin berderma bagi sesama? (ita)