TANGGAL 30 Maret diperingati sebagai Hari Film Nasional. Tahun ini merupakan yang ke-71. Sutradara Bayu Pamungkas hadir dalam sesi Podcast di redaksi Harian Berita Kota Makassar (BKM). Ia membahas kondisi perfilman di tengah pandemi, hingga kepedulian pemerintah terhadap kreativitas pada sineas
”PANDEMI covid-19 jelas sangat terasa dampaknya. Bukan hanya di film, tapi semua bidang. Sejak bulan Maret 2020 bioskop ditutup. Baru dibuka kembali pada bulan November. Sejak ditutup, tentu semua produksi film terhenti. Itu sangat berdampak secara ekonomi bagi pelaku industri film,” ujar Bayu memulai pembicaraan.
Walau begitu, mereka tetap berkreasi di tengah keterbatasan yang ada. Karena, menurut Bayu, kreativitas tidak boleh mati. Sebab cukup banyak media lain yang bisa menampung kreativitas para pekerja film. Di sini dituntut inovasi apa yang sekiranya bisa membangkitkan kembali industri film agar beproduksi kembali.
Sutradara film De Toeng; Misteri Ayunan Nenek ini kemudian mencontohkan hasil karyanya yang dihasilkan di tengah pandemi. Ia bahkan cukup kaget ketika melihat antusias penonton untuk menyaksikan film yang lokasi syutingnya di Kabupaten Jeneponto ini.
”Saya tidak mendapatinya di daerah-daerah lain. Sejak penayangan De Toeng, saya baru kali ini berkesempatan hadir di Makassar lagi. Saya hadir di beberapa kota yang memutar film ini. Atmosfer yang berbeda sangat terasa sekali,” tuturnya.
Di saat produksi film nasional nyaris terhenti dihantam badai pandemi, sineas yang ada di Makassar memang tetap menghasilkan karya. Walaupun banyak di antaranya yang hanya membuat short movie.
”Kreativitas sineas di Makassar patut dilihat oleh daerah lain. Anda memang tidak boleh menjadikan pandemi sebagai alasan untuk berhenti. Harus ada cara dan inovasi agar industri ini bisa tetap hidup. Salah satunya dengan memproduksi film dengan menonjolkan kearifan lokal atau yang disebut etnograf,” jelasnya.
Ia mencontohkan film De Toeng, yang bukan hanya ditonton di Makassar, namun mendapat perhatian secara nasional. Bahkan mungkin menjadi salah satu film pertama Makassar yang mendapat 124 layar pada seluruh bioskop yang ada di Indonesia, dan ditayangkan serentak di seluruh Indonesia. Juga mampu bertahan selama 37 hari di bioskop. Seperti di Jambi, Lampung, Singkawang, Cirebon yang memiliki latar budaya berbeda dengan di film De Toeng.
Menyusul pencapaian yang diperoleh De Toeng, Bayu Pamungkas terpacu untuk memproduksi film dengan genre serupa. Hal itu menjadi penyemangat bagi dirinya. ”Kehadiran saya di Makassar ini sebenarnya dalam rangka observasi untuk film berikutnya,” ungkapnya.
Diakuinya, potensi etnograf di Sulsel cukup besar. Hal itu terlihat dari mitos yang berkembang di tengah warga Jeneponto dan dibuat dalam bentuk film. Sementara mereka yang bermukim di luar Sulsel juga tertarik untuk menontonnya.
”Masyarakat Sulsel begitu besar mencintai budayanya. Saya sudah keliling, dan kecintaan terhadap etnograf dan kearifan lokal itu saya dapati di Makassar,” tandasnya.
Genre film ini, diakui Bayu mendapat perhatian dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Ketika hadir menyaksikan film De Toeng, ia terkejut dengan para pemainnya. ”Jadi, pemain film lokal di Makassar tidak kalah dengan pemain nasional. Itu yang perlu dicatat. Karena itu pula akan ada produksi film seperti ini berikutnya,” jelasnya.
Terkait film baru yang akan digarapnya, Bayu mengakui tantangannya cukup berat. Karena di dalamnya ada muatan sejarahnya. Sehingga pihaknya harus ekstra hati-hati dalam membuat naskah maupun dalam penggarapannya nanti. Untuk pemainnya, ia menjanjikan akan menggunakan talenta lokal Sulsel sebanyak 90 persen.
Sebagai rangkaian Hari Film Nasional, Bayu memberi semangat bagi para sineas, termasuk para aktor dan aktris. ”Saya sangat yakni, dengan semangat yang tinggi kita bisa terus berkreativitas dan berkarya karena itulah jati diri,” tandasnya. (*/rus)