MAKASSAR, BKM — Stunting tidak hanya dialami oleh anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Tapi juga bisa terjadi pada mereka yang memiliki taraf hidup yang lebih baik alias dari keluarga kaya yang hidupnya berkecukupan.
”Jadi tidak melulu stunting disebabkan karena faktor kemiskinan. Tapi ada juga kondisi lain yang bisa menjadi pemicunya,” ujar Dr dr Ema Alasiry ketika menjadi narasumber dalam KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) Interpersonal Kepada Kelompok/Komunitas (Media) Tingkat Provinsi Sulsel dalam Rangka Hari Keluarga Nasional (Harganas).
Kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Perwakilan Sulsel ini berlangsung di Hotel Almadera, Senin (13/6). Sebelumnya, acara dibuka oleh Kepala Perwakilan BKKBN Sulsel Hj Andi Ritamariani secara daring dari Jakarta.
Menurut Dr Ema, stunting yang disebabkan karena gagal tumbuh biasanya terjadi di 1.000 hari pertama kehidupan. Termasuk sejak dari dalam kandungan yang diakibatkan oleh gangguan gizi jangka panjang. Juga karena malnutrisi kronik, asupan gizi yang kurang, serta infeksi kronik
”Banyak orang yang menyebut stunting itu pendek. Tapi tidak semua yang pendek itu karena stunting. Banyak faktor penyebab lainnya,” terang dr Ema.
Dijelaskan bahwa panjang badan menjadi salah satu alat ukur untuk mengetahui kondisi gejala stunting seorang anak. Langkah yang dilakukan adalah curigai jika anak tersebut lebih pendek dibanding dengan anak seusianya.
Ia juga menjelaskan peran PKK dalam upaya percepatan penurunan stunting di Sulsel. Menurutnya, persoalan stunting ini bukan hanya menjadi urusan pemerintah. Tapi seluruh elemen masyarakat.
”Salah satu upaya yang dilakukan oleh PKK Sulsel adalah pemberian tablet penambah darah bagi remaja putri. Hal ini untuk mengatasi anemia di usia muda,” ungkap dr Ema.
Selain itu, PKK juga melakukan pemberdayaan terhadap Posyandu sebagai ujung tombak. Hanya saja, diakui bahwa fasilitas yang dimiliki layanan kesehatan ini masih sangat minim. Bahkan banyak di antaranya yang tidak memiliki alat ukur akurat. Hal ini berdampak pada upaya menemukan anak yang stunting.
”Untuk di tingkat desa, tahun ini sudah tidak ada lagi ADD (Alokasi Dana Desa) untuk penanganan stunting. Kalau pada tahun 2018 itu ada. Tapi setelah covid masuk, alokasinya hilang. Mungkin karena anggarannya diperuntukkan bagi bantuan langsung ke masyarakat. Tapi secara implisit, desa tetap memperhatikan masalah ini. Seperti dengan membeli mobil ambulans. Kendaraan ini bisa digunakan untuk membawa anak yang stunting ketika hendak ditangani,” jelas dr Ema.
Pemateri lain, Kresaputra menjelaskan tentang sejarah awal mula peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas), yang pada 29 Juni mendatang akan dilaksanakan di Kota Medan, Sumatera Barat. Pensiunan BKKBN Pusat ini juga menyoroti peran Posyandu di kekinian. Ia sangat berhadap ada perhatian besar dari pemerintah untuk lebih memberdayakan Posyandu. Terutama dalam menemukan anak dengan indikasi stunting.
Kepala Perwakilan BKKBN Sulsel Hj Andi Ritamariani yang hadir secara virtual dalam acara ini, mengatakan KIE Interpersonal ini dalam rangka penyampaian informasi terhadap komunitas media untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat. Termasuk seperti apa perkembangan program Bangga Kencana (Pembangunan Keluarga dan Keluarga Berencana). (*/rus)