Site icon Berita Kota Makassar

UPT PPA Sulsel Dampingi Murid SD Diduga Korban Rudapaksa

MAKASSAR, BKM — Seorang anak berusia 7 tahun diduga menjadi korban rudapaksa. Melati, sebut saja namanya begitu. Bukan nama sebenarnya. Ia tinggal di Kecamatan Bontoramba, Kabupaten Jeneponto.
Ironisnya, terduga pelaku adalah tetangganya sendiri. Mirisnya lagi, korban diketahui masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Sementara yang laki-laki berusia 15 tahun dan masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-Dalduk KB) Provinsi Sulsel turun melakukan pendampingan dan memantau secara intensif kondisi Melati. Saat ini korban tengah menjalani perawatan dan diobservasi di Ruang Perawatan Anak Rumah Sakit Unhas. Ia didampingi ibunya dan Kepala Seksi Tindak Lanjut UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sulsel.

“Kondisi terkini korban masih dipantau, diobservasi, juga sudah dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa supaya segera bisa ditindaki hari ini,” ujar Kepala UPT PPA Dinas Sulsel Meisy Papayungan, Senin (1/8).

Meisy mengatakan, korban dirujuk dari Kabupaten Jeneponto pada Senin (1/7) subuh pukul 04.00 Wita. Selanjutnya korban segera didampingi melalui Kepala Seksi Tindak Lanjut UPT PPA Sulsel dan hingga saat ini tengah menjalani perawatan medis di RS Unhas.

“Pasien dirujuk pukul 4 subuh. Kami terima informasi pukul 6 pagi segera sudah ada tim di sana, ada kepala Seksi Tindak Lanjut UPT PPA Sulsel. Saya juga sudah berkoordinasi langsung dengan pihak rumah sakit tentang bagaimana penanganan selanjutnya,” tutur Meisy.

Ia melanjutkan, selain berfokus pada tindakan medis yang akan diberikan kepada korban, pihak UPT PPA juga mendampingi ibu korban, baik dalam berkonsultasi dengan pihak rumah sakit maupun menyediakan kebutuhan spesifik bagi korban dan keluarganya.

“Sekarang ini kami fokus pendampingan untuk tindakan medis korban. Kami juga mendampingi keluarga yakni orang tua korban, karena tidak tahu tindakan-tindakan apa yang harus diambil jika konsul dengan dokter. Dia juga masih trauma dan sedih, kaget anaknya menjadi korban,” terang Meisy.

“Kami juga sudah antisipasi dengan menyediakan kebutuhan spesifik, baik pakaian, susu. Apapun kebutuhan spesifik kami sudah siapakan,” tambahnya.

Meisy menuturkan, korban saat ini masih lebih banyak diam. Tim terus berusaha berkomunikasi agar korban tidak merasa ketakutan dan keluarganya tidak merasa sendiri menerima ujian ini.
Untuk itu, lanjut Meisy, segera setelah seluruh tindakan medis selesai dilaksanakan kepada korban, proses pendampingan akan dilanjutkan dengan perawatan kondisi mental melalui psikolog.

“Anaknya lebih banyak diam. Kami coba alihkan perhatiannya agar tidak ketakutan. Untuk saat ini kami utamakan penanganan medis sambil pendampingan, jadi orang tuanya tidak merasa sendiri. Nanti psikolog diturunkan,” kuncinya. (jun)

Exit mobile version