TIDAK banyak pelajar asal Kabupaten Selayar yang mampu menorehkan prestasi ketika mesti memilih untuk melanjutkan kuliah di luar Sulawesi Selatan. Dari yang sedikit itu, satu di antaranya adalah Ahmad Musawwir Nasar.
HADIR menjadi tamu di studio Berita Kota Makassar, pria yang karib disapa Musawwir atau Wir itu berkisah tentang perjalanannya dari kampung halaman hingga bisa kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Islam Indonesia (UII). Saat ini, ia tengah mengikuti program Kampus Mengajar Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang penempatannya di Selayar.
Musawwir berkisah, ia merupakan alumni pondok pesantren (ponpes). Tingkat SMP ia habiskan di SMP Ponpes Modern Babussalam Selayar dan lulus di tahun 2016. Kemudian lanjut ke MTAQ Ponpes Tahfidzul Qur’an Al-Imam Ashim Makassar.
”Waktu itu, di pikiran saya kalau SMP dan SMAnya di Sulsel, bolehlah keluar Sulsel untuk kuliah. Ini uji nyali sebenarnya,” tutur Musawwir.
Ketika lulus SMA, Musawwir menjadikan salah satu universitas Islam di Jakarta sebagai tujuan utama. Hanya saja, ia berusaha mencari cara bagaimana agar dirinya bisa singgah di Yogyakarta sekadar untuk jalan-jalan. Akhirnya, dicarilah universitas yang cocok dan coba mendaftar di sana.
Saat ujian, Musawwir mengikuti keduanya. Awalnya di Yogyakarta kemudian di Jakarta. Hasilnya, ia lulus di dua kampus tersebut. Namun yang dipilihnya adalah Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Apa alasannya? ”Pertama kali memilih Yogya karena suasananya yang berbeda. Waktu itu kampus UII dekat Merapi. Suasananya sejuk. Sementara ketika pertama kali di Jakarta, naik kereta api dan turun di Pasar Senen siang hari. Begitu turun langsung terasa pengap,” terangnya.
Musawwir lahir dari bapak dan ibu yang berprofesi sebagai guru. Bapaknya seorang suku Bajo yang tinggal di wilayah kepulauan yang ada di Selayar. Lingkungannya adalah pantai. Tidak heran bila Musawwir akrab dengan dunia laut. Jalurnya setiap hari kala itu adalah rumah, sekolah dan pantai.
”Ibu kan mengajar di sekolah saya waktu itu. Biasanya beliau masuk mengecek apakah saya ada dalam kelas atau sedang bermain di luar. Seringkali saya didapat sedang bermain di pantai. Akhirnya disuruh masuk dan kembali ke kelas,” kenangnya.
Bungsu dari dua bersaudara ini mengakui bahwa banyak pertanyaan yang mengatakan kenapa mesti jauh-jauh kuliah di UII dan memilih jurusan PAI, sementara di Makassar juga ada. ”Waktu itu saya belum punya alasan untuk menjelaskannya. Tapi sekarang saya tidak perlu lagi menjawabnya. Mereka yang dulu bertanya, sekarang sudah bisa melihat dan tahu alasan saya untuk keluar Sulsel. Memang, tidak selamanya keluar itu bagus. Bergantung dari personalnya masing-masing,” jelasnya.
Musawwir mengungkap, ketika tamat SMA teman-temannya banyak yang memilih untuk mengabdi selama setahun. Namun, ia bersama dua rekannya memutuskan untuk langsung kuliah. Mereka pun memilih keluar Sulsel. Bahkan ada di antaranya yang ke Mesir.
Karena di ponpes sangat jarang bersentuhan dengan laptop, Musawwir benar-benar sendirian mencari tahun untuk mendaftar kuliah. Beruntung ia punya pengalaman di OSIS ketika berada di bangku sekolah.
Setelah dinyatakan diterima di UII, Musawwir sendirian berangkat ke Yogyakarta. Untuk mencari tempat kos di sana, ia difasilitasi oleh omnya yang pernah kuliah di sana.
Sesampainya di tempat kos yang dituju, ia hanya menyimpan barangnya lalu berkeliling kampus. Tujuannya untuk mencari informasi tentang tempat pendaftaran maba.
Di UII, Musawwir masuk lewat jalur hafiz. Ada yang lolos dengan beasiswa. Ada pula pengurangan biaya. Musawwir mendapatkan pengurangan biaya.
Di tahun pertama kuliah, selama dua semester ia menjalaninya tanpa biaya. Otomatis orang tua harus membiayainya. Dia pun memutar otak bagaimana caranya bisa mendapat tempat tinggal gratis.
Bertepatan ketika itu ada pembukaan pendaftaran menjadi tahmir masjid kampus. Ia pun mencoba mendaftar. Proses seleksinya cukup ketat. Meskipun bacaan Qur’an bagus dan lancar, ada pendaftar yang tidak lolos. Sebab yang dibutuhkan adalah mereka yang tidak hanya bisa diajak bicara tentang agama, tapi juga bisa mengedit dan multi talenta.
Tahmir masjid kampus bukan sekadar untuk bersih-bersih. Tapi juga melaksanakan event. Tidak salah jika untuk seleksi masuknya ada tes psikologi.
Setelah melalui tahapan tes, Musawwir dinyatakan lolos. Dia pun tak lagi memikirkan biaya untuk tempat tinggal. Karena sudah disiapkan kamar untuknya.
Selain itu, ia dipertemukan dengan seseorang yang menjadi role model baginya hingga saat ini. Kamaluddin Simamora, seorang mahasiswa senior ketika itu satu kamar dengan dirinya. Kamal yang angkata 2017 telah menuntaskan kuliahnya dan sudah bekerja.
”Satu kamar itu kan dua orang. Kak Kamal adalah juara lomba KTI (Kaya Tulis Ilmiah), presenter dan jago pidato. Di dalam kamar ada satu lemari yang isinya piala semua. Jadi setiap bangun saya selalu lihat piala. Akhirnya punya keinginan juga untuk punya piala,” jelasnya.
Namun, Musawwir belum berani melangkah lebih jauh untuk ikut lomba yang berat. Pilihannya pun ke lomba yang lebih ringan, seperti membaca dan menulis puisi. Di tahun pertama 2019-2020, setiap ada lomba puisi ia selalu mengirimkan karyanya. Lebih dari 20 puisi yang dikirimkannya, namun tak satupun yang mendapatkan juara.
Sampai akhirnya pertengahan tahun 2020, ia berhasil menjadi juara satu baca puisi dan juara tiga cipta puisi se-DIY. Foto dari keberhasilannya itu kemudian ia kirimkan ke Kamal untuk memperlihatkan bahwa dirinya juga bisa meraih piala.
Saat ini Musawwir tengah kuliah semester tujuh. Selama ini ia belajar menggunakan laptop dan statitik. Bahkan kursus agar bisa mengolah data. Pernah dipanggil ikut lomba KTI dan masuk 10 besar. Dari situ ia kemudian kecanduan belajar menulis. Di akhir tahun 2020 Musawwir mendapatkan beasiswa.
Di tahun 2022 ia terpilih menjadi Delegasi and Presenter IDEAS Study Excursion in
Turkey (Ideas for Indonesia). Juga Delegasi Action Youth #5 (Indonesia Youth Action), serta Best Intelegensi Duta Remaja Sulawesi Selatan. (*/rus)