MAKASSAR, BKM — Kota Makassar ternyata belum bisa lepas dari kasus HIV AIDS (Human Immunodeficiency Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome), bahkan perkembangan kasusnya masih berubah-ubah. Hingga September 2022 kasus HIV AIDS masih di angka 758 kasus dan masih selalu berada di peringkat tertinggi di Sulsel.
Dari data Dinas Kesehatan Sulsel, pada 2017 kasus HIV di Sulsel sebanyak 1.560 kasus, lalu 2018 sempat turun jadi 1.174 kasus. Tahun 2019, naik lagi jadi 1.679 kasus, dan turun lagi pada 2020 jadi 1.210 kasus, kemudian kembali naik pada 2021 jadi 1.490.
“Untuk 2022 ini, hingga September ada 1.431 kasus. Itu baru kasus HIV belum yang AIDS. AIDS juga jumlahnya masih fluktuatif mencapai angkat 300 kasus,” ungkap Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Kabid P2P),Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Ardadi, Senin (5/12).
Dari data yang ada juga disebutkan, jika mereka yang terinfeksi HIV/AIDS di Sulsel itu terbanyak dengan orang berusia antara 25-49 tahun. Itu mencapai 69 persen lalu usia antara 15-24 tahun sebanyak 24 persen serta 70 persen diantaranya laki-laki, sisanya 24 persen perempuan.
Ardadi menambahkan, faktor risiko penularan HIV/AIDS adalah lelaki seks lelaki sebanyak 30 persen. “Ini terbesar, sehingga memang harus ada kebijakan yang fokus pada promotif dan preventif kepada sejumlah kelompok sasaran yang tidak diskriminatif, untuk menekan angka penularan,” tambahnya.
Termasuk perluasan layanan pengobatan ARV sampai ke level puskesmas termasuk faskes swasta, klinik dan praktek swasta dengan target 75 persen faskes di kabupaten mampu melakukan pengobatan.
“Juga dilakukan intervensi berbasis kabupaten/kota. Layanan komprehensif berkesinambungan, serta memperkuat kapasitas sumber daya kelembagaan terkait, dan menghadirkan lingkungan yang mendukung serta akuntabel,” lanjut Ardadi,kemarin.
Dukungan lingkungan yang dimaksud seperti memfasilitasi terbentuknya kelembagaan civil society dan masyarakat umum dalam memberdayakan populasi kunci. Termasuk mendorong keterlibatan aktif dunia usaha, organisasi profesi, LSM/NGO, akademisi, dan ormas.
“Inisiasi pembentukan kelompok kerja (Pokja) di kecamatan dan Warga Peduli AIDS (WPA) di desa/kelurahan sebagai katup pengaman terdepan dalam masyarakat. Peran tokoh agama dalam sosialisasi pencegahan HIV di media keagamaan juga perlu,” pungkas Ardadi. (jun)