Site icon Berita Kota Makassar

Harusnya Camat Diperiksa dan Jadi Tersangka

MAKASSAR, BKM — Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Patria Artha, Bastian Lubis menyoroti mekanisme penetapan tersangka kasus dugaan korupsi honorarium BKO Satpol PP Kota Makassar. Menurut Bastian, dugaan korupsi honorarium Satpol PP ini terjadi di kecamatan. Jadi yang pertama harus diperiksa adalah pemerintah kecamatan.

“Anggaran yang bermasalah kan di kecamatan. Bukan di Satpol PP. Jadi seharusnya yang bertanggung jawab dalam dugaan korupsi adalah camat,” terang Bastian dalam keterangan persnya di Universitas Patria Artha, Selasa (20/12).
Rektor Universitas Patria Artha itupun memaparkan kenapa camat yang seharusnya menjadi tersangka. Menurut Bastian, awalnya pihak kecamatan minta BKO Satpol PP untuk perbantuan di kecamatan-kecamatan.

Secara aturan, honorarium petugas Satpol PP BKO kecamatan berada di bawah tanggung jawab OPD Satpol PP. Namun ternyata di kecamatan, mereka juga dibuatkan surat penganggaran honorarium. Pembayarannya masuk ke Bank Sulselbar.
Penganggaran honorarium BKO Satpol PP pun jadi dobel, karena Satpol PP sudah menganggarkan honor tersebut dalam APBD, tetapi kecamatan juga mengalokasikan anggaran yang sama. Sementara kecamatan tidak menembuskan laporan ke Satpol PP kalau petugas BKO itu juga diberikan alokasi honorarium.
Padahal, tidak ada dikatakan bahwa biaya dibebankan di kecamatan. Setiap orang yang BKO, mereka sudah dapat honor di mako Satpol PP.
“Kalau diperhatikan DPA 2017 hingga 2020, Satpol PP punya anggaran tersendiri. Ada tunjangan operasional di RKA. Bahkan sudah dipertanggungjawabkan. Kenapa kecamatan juga menganggarkan? Kenapa mengeluarkan uang yang sebenarnya sudah dikeluarkan Satpol PP?” tanyanya.
Bastian menjelaskan, berdasarkan dokumen yang diperoleh dan dianalisa, sesuai surat perintah yang dikeluarkan Iman Hud waktu itu terkait perbantuan BKO Satpol, tidak ada tertulis bahwa BKO dibebankan honornya ke kecamatan.
“Yang mengherankan di sini, kenapa camat mengeluarkan uang yang sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Satpol PP,” sambungnya.
Pengamat Tata Kelola Keuangan Negara ini menilai, perlu bukti kuat jika Satpol PP terlibat dalam dugaan korupsi tersebut. Yang perlu dibuktikan, kata Bastian, apakah ada unsur gratifikasi yang melibatkan Iman Hud yang masih menjadi Kasatpol PP saat itu. Bila ada, harus jelas dari mana sumbernya. Penyetorannya apakah melalui rekening atau ada bukti lain adanya penerimaan.

“Satpol PP bisa diduga korupsi apabila dia bisa dibuktikan adanya gratifikasi, bukti gratifikasi dari mana? Adanya yang masuk lewat rekening, terus adanya penerimaan uang yang bisa dibuktikan atau disaksikan dan ada tanda terimanya,” ulasnya.
Dalam dugaan Tipikor ini, para camat di Makassar yang menjabat di periode tersebut telah melakukan pengembalian. Dari Rp16 miliar total kerugian negara, mereka mengembalikan Rp3 miliar lebih. Sehingga masih ada sisa Rp12 miliar lebih dari kerugian tersebut
Logikanya, kata Bastian, jika ada pengembalian artinya mereka (eks camat) mengamini bahwa terjadi korupsi. “Itu tidak ada artinya. Pengembalian itu berarti membuktikan memang ada korupsi kan. Tidak ada pengaruhnya (pengembalian). Lagi pula masih ada Rp12 miliar yang tersisa dan belum dikembalikan. Masih besar,” paparnya.
Ia menduga ada kriminalisasi dari dugaan tipikor ini. Sebab hasil pemeriksaan BPK dan Inspektorat ihwal honorarium Satpol PP Kota Makassar sudah selesai dan tidak ada masalah.
“Sebenarnya kita harus hati-hati karena ini memutuskan nasib orang. Ada kriminalisasi mengenai DPA, RKA dan itu dobel. Saya rasa itu kriminalisasi karena sudah diperiksa Inspektorat, BPK, dan yang harusnya tanggung jawab adalah kecamatan,” katanya.
Sementara itu Suhendra, peneliti PUKAT lainnya mengungkap, ada rekening penampungan honorarium pegawai non ASN di masing-masing kecamatan. “Ada rekening penampungan. Tapi ini berlaku untuk pegawai yang masuk dalam struktur kecamatan,” ungkapnya.
Artinya, Satpol PP tidak mengetahui terkait honor maupun rekening penampungan yang ada di kecamatan. “Tidak ada tembusan kalau di kecamatan ada juga honornya. Satpol PP tidak mengetahui. Otomatis yang ada di situ putus hubungan,” jelasnya.
Khusus BKO Satpol, jumlah honorer di kecamatan beragam, jumlahnya 14 hingga 20 orang. Terbanyak di Kecamatan Rappocini berjumlah 20 orang. Jika direratakan total ada 17 BKO di masing-masing kecamatan.
Jika hitungannya per orang menerima honor Rp1,5 juta kemudian dipotong 5 persen, sehingga yang diterima Rp1.425.000. “Jika Rp 1.425.000 dikali 17 orang, hasilnya sekitar Rp24.255.000 per bulan per kecamatan yang masuk ke rekening. Sehingga dalam kurun empat tahun potensi kerugian negara sekitar Rp16 miliar. Dikurangi Rp3,5 miliar yang dikembalikan, jadi potensi kerugian masih ada Rp12 miliar lebih,” kuncinya. (rhm)

Berkas dan Tersangka
Sudah Dilimpahkan ke JPU

SEJAK berkas penyidikan kasus dugaan penyalahgunaan honorarium dan tunjangan operasional Satpol PP Kota Makassar dinyatakan telah lengkap (P-21) oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) selaku jaksa peneliti, penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel telah melakukan pelimpahan tahap II atau tahap penuntutan terhadap tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka adalah Kasatpol PP Makassar periode 2017-2020 Iman Hud, Kasatpol PP tahun 2021-2022 Iqbal Asnan, dan Kasi Pengendali dan Operasional Satpol PP tahun 2017-2020 Abdul Rahman alias Dg Nyalla. Selain tersangka, penyidik juga turut melimpahkan barang bukti dalam perkara tersebut.
Hal itu diungkapkan Kepala Seksi Penyidikan Kejati Sulsel Hary Surachman saat dikonfirmasi, kemarin. Ia menegaskan, penanganan perkara ini telah dilimpahkan ke tahap penuntutan. “Tersangka dan barang buktinya sudah kita limpahkan ke Jaksa Penuntut Umum,” ujarnya.
Hary Surachman menyebut jika pelimpahan tahap dua terhadap tiga tersangka dalam perkara ini dilakukan sepekan lalu, sebelum satu tersangka, yakni Iqbal Asnan meninggal dunia pada Minggu (18/12).

“Jadi tersangkanya sudah kita limpahkan sepekan yang lalu, sebelum tersangka IA meninggal dunia,” ujar mantan Kasi Pidsus Kejari Sinjai ini.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Seksi Penuntutan Kejati Sulsel Adnan Hamzah, membenarkan bila tim JPU telah menerima pelimpahan tahap dua tiga orang tersangka, dari tim penyidik Kejati Sulsel beserta barang buktinya. “Sejak tanggal 13 Desember kami terima pelimpahannya, ” ujar mantan Kasi Datun Kejari Makassar ini.
Terkait rencana pelimpahannya ke Pengadilan Tipikor Makassar, menurut Adnan Hamzah, akan dilakukan sesegera mungkin. (mat)

Exit mobile version