MAKASSAR,BKM.COM–SEBUAH film produksi sineas Makassar telah selesai diproduksi. Judulnya Tasbih Kosong. Bergenre horor. Rencananya tayang di bioskop seluruh Indonesia pada 2 Februari mendatang. Lalu, seperti apa proses produksinya? Ada kisah menarik dan mistis di sana.
PENULIS sekaligus sutradara Ari Ahmad Buang, bersama dua pemeran utama yakni Fritz Frederich (Umar) dan Siti Ardiana Arifin (Rajeng) menjadi tamu siniar untuk kanal Youtube Berita Kota saat melakukan kunjungan redaksi. Hadir pula Afdi Idris (Sarro), Andi Sastrawaty (Nenek Besse), Asnani (ghost), Imam Glow (Husein), dan Hamka Pradifta (Ringgi).
Ari sebagai penulis menjelaskan tentang judul Tasbih Kosong. ”Itu (Tasbih Kosong) adalah sebuah makna kiasan. Menggambarkan sebuah perilaku manusia yang masih ada di masa sekarang, khususnya tentang praktik pesugihan dan mencari kekayaan dengan jalan pintas,” tutur Ari.
Kata tasbih dan kosong, menurut Ari, merupakan dua kata yang sangat berkaitan dan masih terjadi sampai sekarang. Tasbih menunjukkan sesuatu yang erat hubungannya dengan ibadah bagi umat muslim. Kosong menjelaskan tentang kondisi hati yang gampang dirasuki sesuatu yang jahat. Dua diksi tersebut jika saling dikaitkan akan menghasilkan perbuatan yang sia-sia.
”Saat ini masih ditemukan mereka yang mendekatkan diri dengan Tuhan tapi tetap melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, khususnya dalam meminta kekayaan,” terang Ari.
Diakui Ari, yang diangkat dalam film ini merupakan kisah nyata. Diambil dari dua narasumber praktik pesugihan. Bukan hanya satu tempat di Sulsel, melainkan ada tiga titik.
”Lokasi shootingnya hanya satu, yaitu di Kabupaten Soppeng. Sehingga ada anggapan orang bahwa itu hanya terjadi Soppeng. Padahal masih ada dua tempat lagi yang tidak perlu saya sebutkan namanya. Yang terpenting adalah bijak dan memetik hikmah dari kisah ini,” jelas Ari.
Selain itu, sebelum dilakukan produksi film, ada riset yang mendahuluinya. Selaku penulis naskah, Ari lebih banyak sharing dengan temannya yang punya keluarga pernah melakoni praktik tersebut. Pernah ke tempat pesugihan sehingga berdampak kepada keluarga yang lain.
Dari pengakuan Ari, naskah film mulai ditulisnya awal 2019. Namun sempat vakum gegera pandemi. Memasuki 2020 ia melanjutkan menulis skrip. Bertemulah ia dengan dua narasumber untuk memperkaya penulisannya, sehingga makin menariklah tulisan yang dibuat.
Pada bulan Maret 2022 produksi film dimulai. Proses shootingnya berlangsung tiga minggu di Soppeng. Kemudian lanjut di Makassar selama satu minggu. Sehingga waktu yang dibutuhkan kurang lebih sebulan.
Pemeran utama pria, Fritz Frederich yang berlakon sebagai Umar, berkisah bahwa dalam film ini ia merupakan seorang karyawan statistik. Diutus oleh pimpinannya untuk melakukan pendataan di sebuah desa. Di situ dirinya bertemu dengan seorang perempuan bernama Rajeng. Keduanya pun terlibat cinta lokasi. Rajeng digambarkan sebagai perempuan desa yang pendiam dan mistis serta cuek.
Ari mengaku sempat kesulitan untuk mencari pemeran utama, khususnya wanita. Sebab, ia harus cantik namun mistis. Sementara jarang perempuan dengan model seperti ini. Sementara Umar ia dapatkan melalui rekomendasi teman dan sudah pernah bermain di layar lebar. Setelah bertemu, ternyata Fritz sesuai karakter yang diharapkan dalam film.
Fritz menuturkan tantangan dirinya berperan sebagai Umar. Sebab dirinya seorang nonmuslim, sementara perannya sebagai muslim. Ia ditantang menghafal beberapa ayat. Butuh seminggu untuk melakukannya. Fritz dibantu oleh talent dan kru lain. ”Kalau ada yang salah langsung dikoreksi. Saya juga biasa putar di Youtube,” ujarnya.
Selain itu, Fritz mengaku punya banyak scene dalam film ini. Jumlahnya kurang lebih 45 scene. Sementara waktu yang tersedia cukup singkat untuk menghafal naskah. Hanya dua mingguan. Belum lagi memaknainya dalam dialog, serta membangun chemistry.
Sementara Ardiana Arifin yang berperan sebagai Rajeng, mengaku sangat berbeda dan berbanding terbalik dengan kenyataan dirinya yang cukup ceria. Sementara ia harus berlakon sebagai karakter pendiam agak mistis.
”Untuk persiapan awal saya belajar untuk lebih banyak diam dan tenang. Juga belajar ke tatapan yang kosong, karena harus bisa menjiwai sosok mistis dari Rajeng,” ungkapnya.
Menjadi film perdananya, Ardiana mengaku perannya di Tasbih Kosong sangatlah menantang. Tak jarang ia meminta untuk diarahkan oleh teman-temannya di lokasi shooting.
Bermain di film ini sangat berpengaruh pada diri Ardiana. Ia kini lebih banyak diam dan penakut. Kejadian yang dialaminya di lokasi shooting membuatnya tambah penakut.
Sebagai sutradara, Ari mengungkap fakta kejadian ketika shooting terakhir di sebuah bukit. ”Waktu itu kita sudah capek-capek atur lokasi dan ready untuk pengambilan gambar. Pas mau take langsung hujan deras. Sementara satu orang pemain harus kembali ke Makassar besok pagi. Jadi harus take malam itu juga. Proses shooting kita tunda menunggu hujan berhenti. Ternyata nanti subuh hujan baru berhenti. Pagi-pagi buta kita pengambilan gambar dengan mengubah set. Karena seharunya malam, berganti pada pagi. Kita harus kondisikan dengan alam,” jelas Ari.
Usai pengambilan gambar, Ari kemudian bercerita kepada penduduk setempat. Barulah diketahui bahwa hujan itu pertanda mereka dilarang beraktivitas di malam itu. ”Tempat itu memang lumayan mistis,” imbuhnya.
Ari menyebut, lokasi pengambilan gambar sangat jauh dari jalan poros. Waktu tempuh kurang lebih satu jam. Tidak ada sinyal untuk handphone. Alat komunikasi yang ada hanyalah HT (Handy Talkie).
”Kami melakukan ini biar penonton puas. Karena saya selalu bermimpi kalau mau buat orang takut jangan tanggung-tanggung. Jangan sampai sudah capek-capek shooting kita diketawai,” tandas Ari.
Lain lagi kisah Ardiana. Di lokasi shooting ia bersama pemain dan kru lainnya bermalam di sebuah penginapan berupa rumah kayu khas Bugis.
”Malam itu saya mau tidur, karena scenenya besok. Tiba-tiba ada suara seperti buah kelapa yang jatuh di atas atap. Awalnya sempat panik, tapi saya berusaha menenangkan diri hingga tertidur. Besoknya, saya keluar dan melihat ke bagian atas rumah. Ternyata tidak ada pohon,” ungkapnya .
Selain itu, sebelum kejadian malam itu, ia hendak menunaikan salat Isya di sebuah musala kecil. Biasanya Ardiana melaksanakannya bersama temannya yang juga salah seorang kru film. Ketika berada dekat musala, Ardiana melihat temannya itu tengah salat.
”Tumben dia tidak mengajak saya. Jadi saya putuskan nanti salat di kamar saja. Tidak lama teman itu muncul dan mengajak saya untuk salat. Saya kemudian bertanya-tanya, siapa yang salat di musala tadi? Sejak saat itu setiap mau ambil scene saya selalu salat terlebih dulu, dan Alhamdulillah tidak pernah lagi ada gangguan,” terangnya. (*/rus)