MAKASSAR, BKM — Berdasarkan data BPS Sulsel tahun 2021 bahwa jumlah populasi ternak sapi yang ada di provinsi ini mencapai 1,45 juta ekor. Namun, dengan angka itu, rupanya Sulsel belum surplus daging sapi. Buktinya, Sulsel masih disuplai daging sapi dari provinsi lain dan diimpor dari beberapa negara.
Melihat kondisi ini, mantan peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sudiang, Ir Rahmat Herman mengatakan, sebenarnya dengan jumlah populasi sebanyak 1,45 juta ekor, Sulsel sudah bisa surplus daging. Hanya sayangnya, sistem pemeliharaan yang belum dilakukan secara intensi dan semi intensif.
Rahmat menegaskan, Sulsel adalah salah satu provinsi yang memiliki populasi ternak sapi potong terbesar ketiga setelah dua provinsi yang berada di Pulau Jawa yaitu Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bahkan, kata dia, pada tahun 80-an, Sulawesi Selatan pernah menempati urutan kedua populasi sapi terbanyak setelah Jawa Timur.
“Berdasarkan data BPS Sulsel 2021, jumlah ternak sapi potong di daerah ini sebanyak kurang lebih 1,45 juta ekor yang tersebar di 24 kabupaten dan kota dan merupakan komoditas ternak unggulan Sulsel yang perlu dikembangkan. Populasi ternak ini sebagian besar atau hampir seluruhnya dimiliki dan dipelihara oleh petani ternak mulai dataran rendah hingga dataran tinggi. Ini menjadi bukti bahwa industri ternak sapi domestik yang terbesar baik dalam bentuk ternak sapi bibit dan ternak siap potong atau daging bersumber dari usaha peternakan rakyat. Sebenarnya jumlah sapi ini adalah modal utama Sulsel menjadi kawasan lumbung daging sapi,” jelas Rahmat saat bertandang ke Berita Kota Makassar, belum lama ini.
Menurut mantan koordinator penelitian peningkatan produksi ternak sapi potong kerja sama antara Australia-Indonesia atau ACIAR ini, industri ternak sapi potong kuncinya adalah ketersediaan jumlah induk sapi yang akan melahirkan sapi jantan dan betina. Sapi jantan, kata Rahmat, sebagai penghasil daging untuk dikonsumsi. Sedangkan sapi betina sebagai penghasil ternak untuk menambah populasi.
Lebih jauh Rahmat menjelaskan bahwa 725.000 ekor sapi tersebut harus dipelihara oleh peternak dengan dua pola pemeliharaan. Yang pertama adalah pola pemeliharaan intensif dimana induk sapi diikat atau dikandangan terus menerus. Sedangkan pola pemeliharaan kedua adalah semi intensif. Dimana induk sapi diikat atau dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari digiring ke padang rumput.
“Kita ketahui bahwa kebutuhan daging sapi di Sulsel kurang lebih 11.000 ton dalam setahun atau 30 ton sehari, maka terdapat surplus sebanyak 50,23 ton yang setara 358.785 ekor sapi jantan siap ekspor,” jelasnya.
Oleh karena itu, menurut Rahmat, pemberdayaan usaha peternakan rakyat yang fokus menghasilkan sapi jantan untuk digemukkan perlu mendapat perhatian Pemprov Sulsel. Tanpa pembibitan sapi jantan berskala besar dengan biaya murah, lanjut Rahmat, Sulsel akan sulit menjadi kawasan lumbung daging di Indonesia.
Sementara itu, pensiunan dosen Fakultas Peternakan Unhas, Dr Ir Latif Fattah, setuju dengan pemikiran Rahmat. Ia berharap Pemprov Sulsel bisa bekerja maksimal sehingga Sulsel bisa surplus daging. (*)