MAKASSAR, BKM — Tahapan seleksi Jabatan Tinggi Pratama (JPT) Sekretaris Provinsi (Sekprov) Sulawesi Selatan (Sulsel) telah usai, Meski begitu, pengumuman tentang siapa saja yang lolos belum dilakukan oleh panitia seleksi (pansel). Sesuai jadwal yang ditetapkan oleh pansel, pengumuman hasil seleksi tertanggal Jumat (24/2).
Ketua Tim Pansel Prof Murtir Jeddawi, mengatakan saat ini pihaknya tengah melakukan tabulasi terhadap capaian seluruh peserta.
Setelah itu, Pansel akan melakukan rapat pleno. Menurut Prof Murtir, pihaknya baru menerima hasil asesmen dari BKN.
“Info assesmen baru kami terima. Selanjutnya kami akan lakukan tabulasi dulu, baru rapat pleno pansel,” ujarnya, Jumat (24/2).
Ia menyampaikan, proses tabulasi capaian dari seluruh rangkaian tahapan seleksi dari para peserta dapat dilakukan dengan cepat dan sesegera mungkin selesai.
“Mudah-mudahan selesai dalam dua sampai tiga hari ke depan,” imbuhnya.
Dimintai tanggapannya terkait molornya pengumuman hasil seleksi calon sekprov, pengamat pemerintahan Ali Armunanto berpandangan bahwa pengumuman dilakukan sesuai dengan jadwal maupun tidak, asumsi masyarakat pasti merujuk pada dua hal, yaitu hal yang bersifat objektif dan subjektif.
Ia menjabarkan, hal objektif itu merujuk pada yang mesti terukur, baik dari planning maupun instrumen atau alat ukur yang digunakan pada rangakain tes lelang jabatan ini.
Tak dipungkiri, kata Ali Armunanto, hawa subjektivitas itu ada di mana-mana, yang bisa saja memengaruhi alat ukur yang digunakan dalam seleksi ini. Bisa saja memuat kepentingan-kepentingan yang ada.
“Tentu kita akan berasumsi bahwa proses ini objektif, meski berusaha dipengaruhi secara subyektif. Tapi kenyataannya kan, subjektivitas itu ada di mana-mana. Artinya, subjektivitas itu terkait dengan kepentingan-kepentingan yang ada,” jelasnya, Jumat (24/2).
Demikian halnya dengan pihak yang tergabung dalam proses perburuan JPT ini, lanjutnya, tentu punya muatan subjektivitas walaupun sedang melakukan kegiatan yang objektif.
“Yang sangat subjektif tapi juga masih dalam kerangka objektif, misalnya bisa tidak dia (peserta seleksi terpilih) bekerja sama dengan gubernur? Dia dianggap orang yang cakap tidak? Dia punya lineman (kemampuan mengawasi) dengan kebijakan kebijakan gubernur. Saya rasa ini kan pendekatan yang butuh interpretatif,” terangnya.
“Bisa jadi bahwa linemannya (peserta terpilih) ini dianggap sebagai sebuah titipan atau juga bisa dianggap sebagai penyusup (peserta tidak terpilih), kemudian ditolak. Nah, yang saya rasa memang ini menjadi hal yang multitafsir,” imbuhnya.
Ia memaparkan, hal ini kemudian terus tumbuh pada masyarakat karena terkungkung pada hal yang selalu disandarkan pada objektivitas pada praktiknya.
“Kita selalu berpikir bahwa segala sesuatu ini harus objektif. Tapi dalam dalam praktiknya semua pasti akan berada dalam konteks yang subjektif. Jadi tentu akan ada subyektivitas yang terlibat di situ. Tapi kita tidak tahu sampai sejauh mana subjektivitas itu melibatkan sesuatu,” tegasnya.
Asumsi yang tumbuh di masyarakat, menurut Ali Armunanto, tidak dapat dibendung. Baik yang subjektif ini diarahkan pada hal untuk mengamankan kekuasaan atau hal lainnya, juga dengan adaptasinya yang tidak dapat dapat diprediksi, bahkan dipastikan.
“Tapi kira-kira kalau subjektivitasnya tidak besar, tes akan menjadi pertimbangan utama (penentuan peserta terpilih) ini akan merujuk pada hal objektif karena di situlah ditentukan hal profesional. Karena kalau banyak subjektivitas itu tidak profesional. Subjektivitas harus pada proporsinya. Begitu pun objektivitas,” kuncinya. (jun)