MAKASSAR, BKM–Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Hanura Provinsi Sulawesi Selatan masih dalam upaya untuk memenuhi keterwakilan perempuan 30 persen sesuai syarat pada Pileg 2024.
Ketua Bappilu Hanura Sulsel, Amir Anas menyebut pihaknya masih kekurangan bakal caleg perempuan di beberapa daerah pemilihan (Dapil), khususnya di Sulsel.
“Dapil yang kosong termasuk Makasar I, disitu tujuh kursi tersedia sedangkan kita masih butuh tiga. Kemudian di Makassar B sudah ada empat orang sedangkan kursinya lima,” tuturnya.
Meski demikian, Amir mengaku tetap optimis keterwakilan perempuan di 11 Dapil untuk DPRD Provinsi bisa dipenuhi karena tenggat waktu yang masih panjang.
“Presentasi rata-rata keseluruhan dari 11 dapil untuk Provinsi sudah mencapai 56 persen. Insyaallah akan terpenuhi,” sambungnya.
Terpisah, Pengamat demokrasi Andi Ali Armunanto menyebutkan kurangnya keterwakilan perempuan akan menjadi cerminan kekurangan populasi perempuan dalam politik kedepannya.
Terlebih lagi kata Ali, keterwakilan perempuan kedepannya akan menjadikan kepentingan menyangkut perempuan akan menjadi minoritas.
Kekurangan tersebut entah misalnya karena persoalan memang tidak ada bacaleg perempuan yang mau mendaftar ataupun karena proses kaderisasi.
“Apalagi di partai yang tidak diarahkan untuk menjaring kader-kader perempuan akan berpengaruh kurang baik untuk kebijakan berbasis perempuan,” jelasnya.
Dengan demikian Ali menyoroti agar parpol lebih aktif lagi dalam mencari kader perempuan dan segera membenahi struktural parpol terkait keterwakilan perempuan.
“Bukan hanya menunggu karena ini bukan persoalan kurangnya perempuan yang mau mendaftar. tapi persoalan struktural atau posisi sosial yang dihadapi mereka (perempuan),” tuturnya.
Meski demikian, Ali tidak membenarkan praktik parpol-parpol yang menjaring bacaleg perempuan hanya untuk pemenuhan kuota semata sehingga tidak melakukan kaderisasi secara sistematis.
Hal ini dinilai akan mengurangi kualitas dan kapasitas kaderisasi yang akan berpengaruh pada parpol. Terlebih lagi, hal seperti ini akan menyebabkan caleg-caleg kurang mendapatkan bekal pengetahuan.
“Kalaupun kemudian kuota 30 persen nya terpenuhi, tapi tidak menjamin bahwa caleg-caleg tersebut akan terpilih sebab mereka direkrut hanya untuk pemenuhan kuota bukan berdasar pada basis kemampuan,” sambung Ali.
Praktik penjaringan bacaleg tanpa pemetaan atau kaderisasi secara sistematis juga dinilai akan menjadikan caleg yang maju tidak mampu bertarung dengan caleg lain.
“Sehingga pada akhirnya akan menjadikan keterwakilan perempuan menjadi minoritas,” tutupnya. (jun/rif)