MAKASSAR, BKM–Dalam upaya mendorong transparansi dan partisipasi demokratis yang lebih luas, sejumlah calon anggota legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari berbagai partai politik secara tegas menolak sistem pemilihan proporsional tertutup yang saat ini menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Caleg muda dari Partai Gerindra Aisyah Tiar Arsyad .
“Sistem proporsional tertutup adalah sistem yang tidak berkeadilan bagi perempuan. Sudah pasti target afirmasi 30 persen perempuan di DPR akan sulit tercapai. Selama ini caleg perempuan selalu hanya dianggap pelengkap syarat administrasi,”ujar Aisyah Tiar Arsyad, Rabu (7/6).
Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia lulusan University of Groningen, Belanda ini menjelaskan, dalam sistem pemilihan proporsional tertutup, partai politik memiliki kendali penuh terhadap daftar calon mereka. Hal ini dapat menyebabkan keterwakilan yang tidak merata dari berbagai kelompok dan pandangan dalam partai politik. Beberapa kelompok masyarakat atau pandangan politik yang tidak populer mungkin diabaikan atau kurang diwakili.
“Sangat penting mempertahankan sistem proporsional terbuka yang inklusif, yang memungkinkan wakil rakyat terpilih untuk mewakili beragam pandangan dan aspirasi masyarakat. Dengan sistem pemilihan proporsional terbuka, caleg dapat dipilih berdasarkan kualitas dan rekam jejak mereka secara individual, bukan hanya sekadar identitas parpol yang mereka wakili,” tegas Aisyah Tiar Arsyad yang lirik senayan melalui daerah pemilihan (Dapil) Sulsel III ini.
Pengamat politik dari Universitas Pancasakti, Sakral Wijaya Saputra mengatakan sistem proporsional tertutup adalah bentuk kemunduran demokrasi di Indonesia. Sistem demikian hanya menguntungkan partai penguasa, sebagaimana Golkar senantiasa menjadi pemenang pemilu di era Soeharto. Parahnya lagi, hanya orang-orang tertentu yang dekat dengan penguasa yang akan mendapatkan jatah nomor urut 1 dan 2.
“Dalam sistem pemilihan proporsional tertutup, partai politik memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan siapa yang masuk dalam daftar calon dan posisi mereka di dalamnya. Hal ini seringkali mengakibatkan keputusan yang subjektif dan berpotensi melanggengkan patronase politik serta kurangnya akuntabilitas kepada pemilih,” tandas Sakral.
Dia mengingatkan, kebijakan afirmasi 30 persen perempuan di parlemen tidak akan pernah tercapai bila sistem proporsional tertutup di berlakukan. Dengan sistem proporsional terbuka saja, keterwakilan perempuan di DPR belum pernah tercapai.
“Apalagi dengan sistem proporsional tertutup yang seringkali tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak representatif. Tentu caleg perempuan akan selalu menjadi anak bawang. Ditempatkan pada nomor urut paling bawah. Kecuali jika sistem proporsional tertutup mewajibkan perempuan harus menempati nomor urut 1, baru bisa disebut adil bagi perempuan. Tapi apa mungkin pembuat undang-undang kita mau?”pungkasnya. (rif)