MAKASSAR, BKM — Ancaman warga yang akan memblokir dan menutup akses ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa, Kelurahan Tamangapa, Kecamatan Manggala, akhirnya dibuktikan. Sekelompok massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Manggala menggelar aksinya, kemarin.
Penutupan mulai dilakukan sejak Senin pagi (14/8). Beberapa akses untuk masuk ke tempat pembuangan sampah dipalang menggunakan bambu. Beberapa mobil truk pengangkut sampah yang ingin masuk terpaksa parkir di bahu jalan. Sampah yang diangkutnya pun tak bisa dibuang.
Selain melakukan pemblokiran, massa juga berorasi di depan jalan masuk TPA. Mereka menyuarakan sejumlah tuntutan ke Pemerintah Kota Makassar.
Koordinator aksi, Usman mengaku kecewa dengan Pemkot Makassar yang berencana menempatkan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di Kecamatan Tamalanrea. Dia mengaku, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Kota Makassar pekan lalu, Pemkot Makassar diduga telah mengarahkan lokasi PSEL/TPA Modern ke Grand Eterno, Tamalanrea.
“Diduga ada indikasi terjadinya pelanggaran konstitusi karena belum ada pengumuman resmi, namun sudah menyatakan pemenang. Itu membuat warga Tamangapa kecewa,” kata Usman.
Lebih jauh dijelaskan, jika pengolahan sampah dipindahkan ke Tamalanrea, ada sekitar 600 KK warga yang menggantungkan hidup di TPA Tamangapa terancam kehilangan pekerjaan.
Usman juga mempersoalkan janji Pemkot Makassar yang akan membebaskan lahan warga untuk dijadikan TPA Bintang Lima. Namun hingga saat ini belum direalisasikan. Sementara lahan mereka sudah tertimbun sampah. Sawah warga yang ada di sekitar TPA sudah tidak produktif lagi.
Seharusnya, Pemkot Makassar menempatkan PSEL di kawasan Tamangapa dan memberdayakan masyarakat di sana yang sudah lama menderita akibat kehadiran TPA Tamangapa. “Air tanah di Tamangapa tidak bisa dikonsumsi. Kami sabar. Pencemaran udara, bau busuk sudah 30 tahun kami rasakan,” kata Usman.
Dia pun menegaskan, aksi penutupan TPA akan dilakukan sampai ada keputusan dari Pemkot Makassar untuk menempatkan PSEL di kawasan Tamangapa. “Jangan pernah berharap TPA Tamangapa akan kami buka hingga PSEL berada di sini,” jelasnya.
Dia pun meminta ada aparat yang bisa memediasi mereka untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Pemkot Makassar agar bisa dicari solusi dari persoalan tersebut.
Sementara itu Ketua ORW 05 Kelurahan Tamangapa, Jafar Muhtar saat dikonfirmasi mengemukakan, sebenarnya masyarakat sangat berharap jika PSEL ditempatkan di kawasan TPA Tamangapa. Makanya, dia mendukung aksi yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Manggala.
“Ini kan sudah 30 tahun lebih merasakan. Masyarakat sangat mendukung aksi mereka di sini. Maunya warga seperti itu (tuntutan pendemo). Kalau TPA tidak di sini lagi, akan menghilangkan mata pencaharian banyak warga,” ungkap Jafar.
Dia menambahkan, selama ini warga di sekitar TPA Tamangapa yang merasakan dampak, mulai dari bau dan polusi akibat sampah, termasuk mencari rezeki di sana, Pemerintah Kota Makassar harus mempertimbangkan nasib mereka sekiranya PSEL ditempatkan di lokasi lain.
“Saya pasti mendukung masyarakat agar PSEL tetap dibangun disini. Kenapa dialihkan di tempat lain. Kurang lebih 500 pemulung menggantungkan hidup di TPA Antang. Jika dipindahkan, mereka akan kehilangan mata pencaharian,” katanya.
Dia juga menyoroti lahan warga yang sudah tertimbun sampah menggunung namun hingga saat ini belum dibebaskan oleh Pemkot Makassar. “Banyak sekali lahan warga. Sebelum saya menjabat sebagai RW itu sudah dijanji dibayar. Tapi menurut mereka belum terbayar. Saya dengar mulai tahun 2021, tapi sampai saat ini belum dibayar,” cetusnya.
Sebelumnya Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto kepada wartawan, mengatakan
PSEL merupakan Program Strategis Nasional (PSN). Itu, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020.
Orang nomor satu Makassar itu mengatakan banyak pihak yang beranggapan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa akan dipindahkan. Padahal itu persepsi yang keliru. Justru hadirnya PSEL dibuat untuk mengatasi masalah persampahan di Kota Makassar.
“Bukan TPA yang mau dibuat ini, tapi industri listrik. Basis bahan bakarnya sampah yang tertutup semua. Bukan mau bikin TPA. Ini kan ada penyesatan,” tegas Danny Pomanto.
Danny menegaskan, dirinya tidak pernah ikut campur dalam tahapan lelang PSEL. Ia pun tidak ikut andil dalam menentukan pemenang proyek tersebut
Hingga saat ini, Pemkot Makassar belum mengumumkan secara resmi pemenang tender PSEL. Termasuk mengumumkan lokasinya.
Ada tiga perusahaan yang telah ditetapkan berdasarkan surat yang ditandatangani Sekretaris Kota Makassar Muh Ansar. Pertama SIH-SUS-GPI Consortium, kedua Tiang Ying-CCCEI-KJ-WTE Consortium, dan ketiga HJEI-CSE Consortium.
Ada lima kriteria yang menjadi penilaian kelaikan untuk memenangkan proyek PSEL ini. Di antaranya pengelolaan lingkungan, pemilihan teknologi, sosial kemasyarakatan, lahan dan regulasi, serta kelayakan finansial.
Sementara itu, terkait pembebasan lahan yang dituntut warga, sebelumnya Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Makassar, Ferdy Mochtar mengatakan, pengadaan lahan tetap mengacu pada Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) tahun 2022 sesuai 21 kepemilikan sertifikat, dua akta jual beli dan tiga rincik.
“Tanah yang akan dibayarkan harus memiliki kepastian hukum dan tanpa konflik sesama pemilik lahan,” kata Ferdy.
Pihaknya akan menggelar rapat selanjutnya bersama tim TPAD terkait mekanisme penganggaran di tahun 2024. Ferdy pun berharap masyarakat yang lahannya digunakan oleh TPA untuk tetap tenang karena akan dilakukan penanganan/pembebasan lahan harus dijalankan melalui penetapan lokasi.
Pihaknya harus berkordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sampai terbentuknya tim appraisal yang melakukan mekanisme pembayaran lahan. Dia menjamin semua proses atau tahapan yang dilalui terlaksana secara transparan dan bebas dari unsur kolusi, karena nilai lahan ditangani oleh lembaga independen.
“Insyaallah, kita mencari solusi yang terbaik tanpa merugikan masyarakat. Dan sebelumnya sudah ada anggaran di tahun 2021 dan di tahun 2022,” tambah Ferdy.
Jika muncul pertanyaan, kenapa tidak dibayarkan tahun sebelumnya, Ferdy mengatakan karena dokumen DPPT sebagai rujukan awal pelaksanaan teknis pembebasan belum ada. “Pemerintah tidak mau mengambil risiko yang dapat memunculkan masalah di kemudian hari, terutama terkait luas lahan, kepemilikan sertifikat, harga pembayaran,” tegasnya
Jika hal itu terjadi, tambahnya, pemerintah dan pemilik lahan akan bermasalah hukum. “Ini yang harus dihindari, sehingga semua aman, transparan dan akuntabel,” tandas Ferdy. (rhm)