MAKASSAR, BKM — Baru-baru ini, Korea Selatan dihadapkan dengan peningkatan kejahatan deepfake yang menargetkan perempuan muda melalui aplikasi pesan Telegram.
Dilansir dari Yonhap pada Sabtu (30/8), meningkatnya insiden ini memicu reaksi keras dari publik, sehingga Pemerintah dan Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang saat ini berkuasa sepakat pada Kamis untuk memperkuat tindakan hukum terkait.
Dalam pertemuan darurat di Majelis Nasional, kedua pihak sepakat untuk berupaya membuka hotline langsung dengan Telegram guna menangani kejahatan ini secara lebih efektif.
Salah satu langkah yang diambil adalah meningkatkan hukuman maksimum penjara bagi pelaku pembuatan materi deepfake yang bertujuan untuk disebarluaskan, dari lima tahun menjadi tujuh tahun.
“Distribusi konten ini terjadi luas melalui Telegram, namun ada hambatan dalam kerja sama internasional karena server Telegram berada di luar negeri,” ujar Kim Sang-hoon, salah satu pemimpin kebijakan PPP, setelah pertemuan tersebut.
Pemerintah juga berencana mengadakan dialog dengan pihak Telegram untuk membangun hotline yang memungkinkan konsultasi sepanjang tahun, tambah Kim.
Sementara itu, Komisi Komunikasi Korea, sebagai pengawas media nasional, telah mengirim surat kepada otoritas di Prancis untuk mempercepat kerja sama dalam menangani kejahatan digital ini, mengingat Pavel Durov, CEO Telegram, berada di bawah yurisdiksi tersebut.
Ketua PPP, Han Dong-hoon, mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam mencegah insiden serupa, serta menyerukan penurunan batas usia tanggung jawab pidana bagi anak di bawah umur.
Saat ini, anak berusia 10 hingga 14 tahun tidak dapat dikenakan hukuman pidana secara penuh. Mereka biasanya dikirim ke pusat penahanan remaja atau diwajibkan melakukan pelayanan masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Anak.
Dalam pertemuan tersebut, pemerintah dan PPP sepakat membentuk gugus tugas lintas lembaga di bawah koordinasi Kantor Koordinasi Kebijakan Pemerintah (OGPC) untuk memimpin respons terhadap kejahatan seks deepfake. (JP)