Site icon Berita Kota Makassar

Teliti Urban Farming di Makassar, Mahyuddin Raih Doktor di Unhas

MAKASSAR, BKM — Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Kota Makassar, Mahyuddin kini menyandang gelar doktor. Ia meraih predikat cumlaude dalam sidang promosi doktor yang digelar, Selasa (25/2) di Aula Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.

Mahyuddin berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Collective Action dalam Pengembangan Urban Farming untuk Kemandirian Pangan Berkelanjutan di Kota Makassar. Ia menyelesaikan program doktoralnya selama 2,5 tahun.

Promosi doktor dihadiri sejumlah pimpinan OPD di Pemkot Makassar. Diantaranya Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar Firman Hamid Pagarra, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Akhmad Namsum, Kepala Dinas Pariwisata Muhammad Roem, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Andi Zulkifli Nanda, Kepala Dinas P3A Achi Soleman, Inspektur Inspektorat Makassar Andi Asma Zulistia Ekayanti, serta undangan lainnya.

Mahyuddin menerangkan alasan mengambil tema penelitian terkait urban farming karena melihat kondisi Makassar sebagai kota metropolitan yang memiliki lahan cukup terbatas. “Otomatis untuk kegiatan pertanian tanaman produktif tidak bisa maksimal. Butuh sistem pertanian yang tidak terlalu mengandalkan lahan dengan model urban farming,” ungkap Mahyuddin.
Dia mengatakan, urban farming bisa dilakukan secara maksimal demi mewujudkan kemandirian pangan di Kota Makassar. Sejauh ini, sudah banyak kelompok-kelompok urban farming yang eksis.
Jika seluruh kelompok itu bergerak secara bersama dengan kesadaran pribadi, akan tumbuh kemandirian pangan sehingga kemandirian pangan di Kota Makassar dapat diwujudkan.

Namun, lanjut mantan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Kota Makassar itu, butuh campur tangan pemerintah dan seluruh stakeholder terkait dan kesadaran publik dalam memaksimalkan urban farming. Selain itu, memberikan kepastian hukum terkait pengembangan urban farming dalam bentuk peraturan daerah (Perda) sehingga bisa terus berkelanjutan.

Ia melanjutkan bahwa keberhasilan collective action dalam pengembangan urban farming di Kota Makassar bisa dilakukan dengan meningkatkan kesadaran publik dan komunitas terhadap pentingnya kemandirian pangan berkelanjutan.

Dalam disertasinya, Mahyudin menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi dalam pengembangan urban farming di Kota Makassar. “Saya ingin mewujudkan kemandirian pangan di Kota Makassar dengan urban Faming. Seluruh aktor harus terlibat sehingga urban farming di Kota Makassar bisa berjalan,” katanya
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Informan dalam penelitian ini meliputi Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perikanan dan Pertanian, penyuluh pertanian, serta kelompok wanita tani yang aktif dalam program pertanian perkotaan.
Dalam penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pengembangan urban farming sangat bergantung pada aksi kolektif dan keterlibatan masyarakat. Mahyudin menekankan bahwa strategi yang diterapkan tidak cukup hanya mengandalkan bantuan pemerintah, tetapi juga perlu mendorong partisipasi aktif warga.

“Salah satu elemen penting dalam keberhasilan program ini adalah pembangunan jaringan yang kuat antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, komunitas, dan kelompok tani,” ujarnya.
Mahyudin juga menyoroti perlunya regulasi yang lebih jelas dalam mendukung keberlanjutan program urban farming, terutama dalam konteks Lorong Wisata di Makassar. Menurutnya, aturan dan standar operasional prosedur (SOP) yang ada belum cukup kuat untuk memastikan efektivitas dan evaluasi program secara berkelanjutan.

Oleh karena itu, diperlukan peraturan daerah yang lebih spesifik untuk memberikan panduan teknis mengenai indikator capaian keberhasilan serta mekanisme evaluasi yang lebih terstruktur. Selain itu, koordinasi antarinstansi masih menjadi kendala utama dalam pengelolaan urban farming. Minimnya sinergi antara pemerintah daerah, kelompok tani, dan masyarakat menyebabkan program ini belum sepenuhnya optimal.
“Saya merekomendasikan pembentukan tim koordinasi lintas sektor yang bertugas memastikan keterpaduan kebijakan dan implementasi di lapangan. Dari sisi sumber daya, dukungan dalam bentuk anggaran, pelatihan, serta penyediaan sarana dan prasarana masih perlu ditingkatkan,” jelasnya.

Lebih jauh, Mahyudin melihat bahwa urban farming tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, tetapi juga memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi berbasis komunitas. Program Lorong Wisata misalnya, tidak hanya menjadi wadah untuk bercocok tanam di lingkungan perkotaan, tetapi juga membuka peluang usaha bagi masyarakat melalui penjualan hasil pertanian, produk olahan, hingga wisata edukasi.
Dalam menyusun disertasinya, Mahyuddin mendapat bimbingan dari Prof. Dr. H. Muh. Akmal Ibrahim, M.Si (Promotor), Prof. Dr. Muhammad Yunus, M.A (Co-Promotor I), dan Dr. Syahribulan, M.Si (Co-Promotor II). Selain itu, sejumlah akademisi seperti Prof. Dr. Badu Ahmad, M.Si, Prof. Dr. Hasniati, S.Sos., M.Si, dan Prof. Dr. Suparman Abdullah, M.Si turut memberikan masukan dalam proses ujian dan penyempurnaan disertasi ini.
“Saya menyelesaikan penelitian ini selama 3,5 tahun. Semoga ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sekaligus menjadi rujukan dalam perumusan kebijakan urban farming yang lebih efektif di Kota Makassar,” imbuhnya.
Ia juga berharap penelitian ini dapat menginspirasi lebih banyak pihak untuk berkolaborasi dalam mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan di perkotaan. (rhm-ita)

Exit mobile version