MAKASSAR, BKM–Partai Amanat Nasional (PAN) di deklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998. Lahir dari rahim reformasi, saat bangsa Indonesia tengah mencari arah baru pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Sebagai salah satu partai yang didirikan dengan semangat perubahan, PAN membawa idealisme besar, yaitu memperjuangkan demokrasi, pluralism, kesetaraan manusia, keadilan sosial, dan pemerintahan yang bersih. Namun seiring berjalannya waktu, realitas politik nasional yang keras dan dinamis menuntut adaptasi. “Di sinilah PAN dihadapkan pada pilihan yang sulit-tetap teguh dalam idealisme atau menyesuaikan diri secara pragmatis demi kelangsungan politik,”ujar Wakil Ketua DPW PAN Sulsel Dr Usman Lonta, Senin (28/4).
PAN didirikan tahun 1998 oleh Prof Dr Amien Rais dengan mengusung semangat reformasi yang kuat. PAN menawarkan alternatif politik baru, yakni berkomitmen pada demokrasi, pluralisme, keadilan social, etika politik dan supremasi hukum. Platform PAN pada masa awal penuh dengan janji pembaruan dan perubahan yang bersandar pada nilai moral dan etika politik. Para pendiri PAN membayangkan sebuah partai modern yang tidak hanya mengejar kekuasaan, tetapi juga memperjuangkan nilai.
Namun idealisme, betapapun mulianya, kerap berhadapan dengan realitas politik yang kompleks. Sistem multipartai di Indonesia, kebutuhan untuk berkoalisi, serta tekanan elektoral memaksa PAN untuk bersikap lebih pragmatis.
“Tidak sedikit keputusan PAN dalam perjalanan politiknya yang mencerminkan kompromi-kompromi strategis. Misalnya, dalam beberapa kontestasi nasional dan daerah, PAN memilih bergabung dalam pemerintahan atau mendukung kandidat presiden/kepala Daerah, bukan semata-mata atas dasar kesamaan visi, ideologis, melainkan pertimbangan peluang politik. Ini mencerminkan upaya PAN untuk tetap relevan dan mempertahankan posisi dalam peta kekuasaan. PAN mendayung di antara dua kutub, kutub pragmatisme dan kutub idealism,”jelasnya.
Dalam posisi demikian pertanyaan yang acapkali muncul adalah, apakah PAN telah mengkhianati idealismenya? Atau justru, PAN tengah mencari keseimbangan antara prinsip dan realitas? Dalam politik, idealisme murni tanpa fleksibilitas kerap membuat partai terpinggirkan, sementara pragmatisme tanpa batas dapat menggerus identitas. Bagi PAN, menjaga keseimbangan ini menjadi tantangan besar. Basis pemilih, khususnya yang masih mengingat semangat awal reformasi, mengharapkan PAN tetap teguh pada nilai-nilainya. Di sisi lain, generasi pemilih baru menuntut efektivitas politik yang kadang membutuhkan kompromi.
Terakhir, perjalanan PAN menunjukkan bahwa politik adalah arena penuh dinamika antara idealisme dan pragmatisme. Tantangannya bukan sekadar bertahan, tetapi juga mempertahankan identitas dalam perubahan zaman.
“Muswil PAN kali ini perlu melakukan refleksi mendalam, memperbarui komitmennya pada nilai dasar reformasi, sambil tetap lincah membaca realitas politik. Sebuah partai besar bukan hanya mampu memenangkan kekuasaan, tetapi juga menjaga jiwa dari mana ia dilahirkan,”pungkas mantan Anggota DPRD Sulsel tiga periode ini. (rif)