MAKASSAR, BKM — Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) telah menjadwalkan untuk memeriksa Fathul Fauzi Nurdin. Putra bungsu mantan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah itu akan dimintai keterangannya terkait dugaan korupsi pada proyek penambangan pasir di Kabupaten Takalar.
Salah seorang penyidik Kejati menuturkan kepada BKM, Fathul Fauzi dijadwalkan diperiksa pekan ini. Kasus tersebut sudah naik tahap penyidikan.
“Fauzi dan dua orangnya lainnya dijadwalkan diperiksa. Rencananya pekan ini,” ujar penyidik pidana khusus Kejati Sulsel, Senin (6/6).
Terkait kasus tersebut, penyidik Kejati Sulsel sudah memeriksa enam pejabat Pemkab Takalar saat ini. Setelahnya, akan ada pihak swasta.
Salah satunya adalah Fathul Fauzi Nurdin.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel Soetarmi mengatakan, pihaknya sudah menaikkan kasus tersebut ke tahap penyidikan. Pemeriksaan saksi akan dilakukan mulai pekan ini.
Namun, Soetarmi mengaku belum tahu siapa saja yang akan diperiksa. Walau begitu, ia meminta agar mereka yang dipanggil nantinya bisa kooperatif.
“Saya baru mau minta data siapa-siapa saja yang akan diperiksa ke penyidik Pidsus. Saat ini belum ada saya dapat. Tapi kasusnya sudah naik (penyidikan),” ujar Soetarmi.
Seperti diketahui, dua perusahaan milik Fathul Fauzi dan kawannya diduga memperoleh keuntungan yang berlimpah dari penambangan pasir di Pulau Kodingareng, Takalar. Pasir dikeruk untuk menyuplai kebutuhan pembangunan Makassar New Port (MNP).
Kasus ini sempat disoroti oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel. Lembaga itu mencatat keuntungan yang didapatkan oleh dua perusahaan itu yakni Rp258 miliar. Masa kerjanya dari bulan Februari hingga Oktober 2020 lalu.
“Dari izin konsesi (IUP) dua perusahaan itu, yakni PT Alefu Makmur dan PT Banteng Laut Indonesia,” kata Direktur Walhi Sulsel Muhammad Al Amin, beberapa waktu lalu.
Pihaknya bersama sejumlah media sudah menginvestigasi hal ini jauh hari. Kasusnya juga pernah dilaporkan ke KPK.
Al Amin merinci, dalam sehari perusahaan yang berafiliasi dengan PT Boskalis itu bisa mengangkut 3 x 3.000 kubik pasir. Jika satu kubik setara dengan satu dolar, maka keuntungan yang bisa diambil dalam sehari mencapai Rp1.305.000.000.
Bandingkan dengan penghasilan nelayan di pulau tersebut. Sebelum ada penambangan, nelayan bisa menghasilkan Rp500 ribu per hari. Itu pendapatan bersih.
Nelayan juga mampu mendapatkan ikan tenggiri tiga hingga enam ekor dalam sehari. Mereka tak pernah khawatir akan hasil tangkapannya.
Namun, kondisi berbeda ketika Pemprov Sulsel tetiba mengeluarkan izin penambangan untuk dua perusahaan tersebut. Nelayan langsung mengeluh.
“Setelah ada tambang, nelayan hanya kembali modal. Mereka merugi Rp200 ribu hingga Rp2 juta per hari,” jelasnya Al Amin.
Walhi Sulsel mencatat kerugian yang dialami nelayan selama sembilan bulan itu mencapai Rp80 miliar. Baik itu untuk nelayan pancing, nelayan panah, nelayan bagang dan nelayan jaring.
Al Amin mengaku sejak awal meminta agar kasus soal penambangan pasir ini diusut penegak hukum.
Pulau Kodingareng dikeruk oleh perusahaan mantan tim sukses Nurdin Abdullah yang juga pernah jadi staf khususnya saat masih menjabat sebagai gubernur.
Dari hasil penelusuran tahun 2020 ada enam perusahaan yang melakukan pengajuan penambangan. Yakni, PT Cipta Konsolindo dengan luas permohonan belum diketahui, PT Danadipa Agra Balawan dengan luas permohonan 999,29 hektare, lalu PT Waragonda Indogernet Pratama yang rencananya akan menggarap 980,33 Ha.
Ada pula PT Alefu Makmur yang mengusulkan permohonan seluas 658,54 Ha, lalu PT Banteng Laut Indonesia dengan luas garapan 619,58 Ha. Terakhir, PT Berkah Bumi Utama dengan luas permohonan 760,86 Ha.
Dari enam perusahaan yang mengajukan izin tersebut, dua perusahaan disebut resmi mendapat izin dari Pemprov Sulsel, yakni PT Benteng Laut Indonesia dan PT Alefu Makmur. Namun, izin terbitnya lebih cepat.
Karena yang menjadi bagian dari perusahaan tersebut merupakan teman akrab dari Putra Bungsu Gubernur Sulsel Fauzi Nurdin. (mat-jun)